Senin, 02 Februari 2009

HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM


A. Pengertian Pendidikan Islam

Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu al-Tarbiyah (pengetahuan tentang ar-rabb), al-Ta’lim (ilmu teoritik, kreativitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah), al-Ta’dib (integrasi ilmu dan amal). (Hasan Langgulung : 1988).

1. Istilah al-Tarbiyah

Kata Tarbiyah berasal dari kata dasar “rabba” (رَبَّى), yurabbi (يُرَبِّى) menjadi “tarbiyah” yang mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik. Dalam statusnya sebagai khalifah berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari Allah untuk mewakili dan sekaligus sebagai pelaksana dari peran dan fungsi Allah di alam. Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai khalifah Allah maka manusia mempunyai tugas untuk memadukan pertumbuhan dan perkembangannya bersama dengan alam. (Zuhairini, 1995:121).

2. Istilah al-Ta’lim

Secara etimologi, ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. Adapun proses pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam as oleh Allah SWT, ia menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari penciptanya. Proses pembelajaran ini disajikan dengan menggunakan konsep ta’lim yang sekaligus menjelaskan hubungan antara pengetahuan Adam as dengan Tuhannya. (Jalaluddin, 2001:122).


3. Istilah al-Ta’dib

Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, konsep ini didasarkan pada hadits Nabi:

اِدَّ بَنِيْ رَبِّى فَأَحْسَنَ تَـأْدِيْبِيْ {رواه العسكرى عن على}

Artinya : “Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku”

(HR. al-Askary dari Ali r.a).

Al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.

Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. (Samsul Nizar, 2002:32).


B. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam

Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.

Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk :

1. Alat untuk memperluas, memelihara, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan nasional

2. Alat untuk mengadakan perubahan inovasi dan perkembangan.


C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam

Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.

Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia. (Samsul Nizar, 2002:38).
Posted by Ibnu at 07:12 0 comments 
Labels: PAI, Pendidikan 
HAKEKAT EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM


I. PENDAHULUAN

Dalam pendidikan Islam, tujuan merupakan sasaran ideal yang hendak dicapai. Engan demikian kurikulum telah di rancang, di susun dan di proses dengan maksimal, hal ini pendidikan Islam mempunyai tugas yang berat. Di antara tugas itu adalah mengembangkan potensi fitrah manusia (anak).

Untuk mengetaui kapasitas, kwalitas, anak didik perlu diadakan ealuasi. Dalam evaluasi perlu adanya teknik, dan sasaran untuk menuju keberhasilan dalam proses belajar mengajar.

Evaluasi yang baik haruslah didasarkan atas tujuan pengajaran yang ditetapkan oleh suro dan kemudian benar-benar diusahakan oleh guru untuk siswa. Betapapun baiknya, evaluasi apabila tidak didasarkan atas tujuan pengajaran yang diberikan, tidak akan tercapai sasarannya.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Evaluasi

Menurut bahasa, kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris “evalution”, yang berarti penilaian atau penaksiran. (John M. Echts dan Hasan Shadily, 1983 : 220). Sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan intrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan.[1]

Ada beberapa pendapat lain definisi mengenai evaluasi:

a. Bloom

Evaluasi yaitu: pengumpulan kegiatan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kegiatannya terjadi perubahan dalam diri siswa menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri pribadi siswa.

b. Stuffle Beam

Evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh, dan enyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.

c. Cronbach

Didalam bukunya Designing Evalutor Of Education and Social Program, telah memberikan uraian tentang prinsip-prinsip dasar evaluasi antara lain :

1. Evaluasi program pendidikan merupakan kegiatan yang dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya.

2. Evaluasi seyogyanya tidak memberikan jawaban terhadap suatu pertanyaan khusus. Bukanlah tugas evalutor memberikan rekomendasi tentang kemanfaatan suatu program dan dilanjutkan atau tidak. Evalutor tidak dapat memberikan pertimbangan kepada pihak lain, seperti halnya seorang pembimbing tidak dapat memilihkan karier seorang murid. Tugas evalutor hanya memberikan alternatif.

3. Evaluasi merupakan suatu proses terus menerus, sehingga didalam proses didalamnya memungkinkan untuk merevisi apabila dirasakan ada suatu kesalahan-kesalahan.[2]

B. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan Islam

Secara rasional filosofis, pendidikan Islam bertugas untuk membentuk al-Insan al-Kamil atau manusia paripurna. Oleh karena itu, hendaknya di arahkan pada dua dimensi, yaitu : dimensi dialektikal horitontal, dan dimensi ketundukan vertikal.

Tujuan program evaluasi adalah mengetahui kader pemahaman anak didik terhadap materi terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan. Selain itu, program evaluasi bertujuan mengetahui siapa diantara anak didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas maupun tamat. Tujuan evaluasi bukan anak didik saja, tetapi bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana pendidikan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.

Dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi lebih ditekankan pada penguasaan sikap (afektif dan psikomotor) ketimbang asfek kogritif. Penekanan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang secara besarnya meliputi empat hal, yaitu :[3]

1. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.

2. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.

3. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya.

4. Sikap dan pandangan terhadap diri sendiri selaku hamba Allah, anggota masyarakat, serta khalifah Allah SWT.

Dari keempat dasar tersebut di atas, dapat dijabarkan dalam beberapa klasifikasi kemampuan teknis, yaitu :

1. Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah dengan indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

2. Sejauh mana peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai agamanya da kegiatan hidup bermasyarakt, seperti ahlak yang mulia dan disiplin.

3. Bagaimana peserta didik berusaha mengelola dan memelihara, serta menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, apakah ia merusak ataukah memberi makna bagi kehidupannya dan masyarakat dimana ia berada.

4. Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri sendiri sebagai hamba Allah dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka ragam budaya, suku dan agama.

Sedangkan menurut Muchtar Buchari M. Eb, mengemukakan, ada dua tujuan evaluasi :[4]

1. Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu.

2. Untuk mengetahui tingkah efisien metode pendidikan yang dipergunakan dalam jangka waktu tertentu.

Fungsi evaluasi adalah membantu anak didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan kepadanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Di samping itu fungsi evaluasi juga dapat membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan adeqvate (baik tidaknya) metode mengajar, serta membantu mempertimbangkan administrasinya.

Menurut A. Tabrani Rusyan dan kawan-kawan, mengatakan bahwa evaluasi mempunyai beberapa fungsi, yaitu :

1. Untuk mengetahui tercapainya tidaknya tujuan instruksional secara komprehensif yang meliputi aspek pengetahuan, sikap dan tingkah laku.

2. Sebagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya dimana segi-segi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi yang dapat merugikan sebanyak mungkin dihindari.

3. Bagi pendidik, evaluasi berguna untuk mengatur keberhasilan proses belajar mengajar bagi peserta didik berguna untuk mengetahui bahan pelajaran yang diberikan dan di kuasai, dan bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil atau tidaknya program-program yang dilaksanakan.

4. Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi murid.

5. Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar.

6. Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat.

7. Untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar.

C. Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan Islam

Evaluasi merupakan penilaian tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan situasi aspek lainnya, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh jika ditinjau dari beberapa segi. Oleh karena itu dalam melaksanakan evaluasi harus memperhatikan berbagai prinsip antara lain :[5]

1. Prinsip Kesinambungan (kontinuitas)

Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil (Q.S. 46 : 13-14).

2. Prinsip Menyeluruh (komprehensif)

Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman hafalan, pemahaman ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab (Q.S. 99 : 7-8).

3. Prinsip Objektivitas

Dalam mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaharui oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional.[6]

Allah SWT memerintahkan agar seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi. Jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan (Q.S. : 8), Nabi SAW pernah bersabda : “Andai kata Fatimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya aku tidak segan-segan untuk memotong kedua tangannya”.

Demikian pula halnya dengan Umar bin Khottob yang mencambuk anaknya karena ia berbuat zina. Prinsip ini dapat ditetapkan bila penyelenggarakan pendidikan mempunyai sifat sidiq, jujur, ikhlas, ta’awun, ramah, dan lainnya.

D. Sistem Evaluasi Dalam Pendidikan Islam

Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengaku pada sistem evaluasi yang digariskan oelh Allah SWT, dalam al-Qur’an dan di jabarkan dalam as-Sunnah, yang dilakukan Rasulullah dalam proses pembinaan risalah Islamiyah.

Secara umum sistem evaluasi pendidikan sebagai berikut :[7]

1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dihadapi (Q.S. Al-Baqarah/ 2 : 155).

2. Untuk mengetahui sejauhmana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah diaplikasikan Rasulullah saw kepada umatnya (QS. An Naml/27:40).

3. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan seseorang, seperti pengevaluasian Allah terhadap nabi Ibrahim yang menyembelih Ismail putra yang dicintainya (QS. Ash Shaaffat/37:103-107).

4. Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dan pelajaran yang telah diberikan kepadanya, seperti pengevaluasian terhadap nabi Adam tentang asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya dihadapan para malaikat (QS. Al-Baqarah/2:31).

5. Memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi yang beraktifitas baik, dan memberikan semacam ‘iqab (siksa) bagi mereka yang berakltifitas buruk (QS. Az Zalzalah/99:7-8).

6. Allah SWT dalam mengevaluasi hamba-Nya, tanpa memandang formalitas (penampilan), tetapi memandang subtansi dibalik tindakan hamba-hamba tersebut (QS. Al Hajj/22:37).

7. Allah SWT memerintahkan agar berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu, jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan (QS. Al Maidah/5:8).

E. Sasaran Evaluasi

Langkah yang harus ditempuh seorang pendidik dalam mengevaluasi adalah menetapkan apa yang menjadi sasaran evaluasi tersebut. Sasaran evaluasi sangat penting untuk diketahui supaya memudahkan pendidik dalam menyusun alat-alat evaluasinya.

Pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi[8], yaitu:

1. Segi tingkah laku, artinya segi-segi yang menyangkut sikap, minat, perhatian, keterampilan murid sebagai akibat dari proses belajar mengajar.

2. Segi pendidikan, artinya penguasaan pelajaran yang diberikan oleh guru dalam proses belajar mengajar.

3. Segi yang menyangkut proses belajar mengajar yaitu bahwa proses belajar mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dari guru. Sebab baik tidaknya proses belajar mengajar akan menentukan baik tidaknya hasil belajar yang dicapai oleh murid.

Dengan menetapkan sasaran diatas, maka pendidik lebih mudah mengetahui alat-alat evaluasi yang dipakai baik dengan tes maupun non tes.

a. Kedudukan akademis setiap murid, baik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, sekolahnya, maupun dengan sekolah-sekolah lain.

b. Kemajuan belajar dalam satu pelajaran tertentu, misalnya tauhid, fiqih, tarikh dan lainnya.

c. Kelemahan dan kelebihan murid.

Dalam evaluasi pendidikan Islam ada empat sasaran pokok yang menjadi target.[9]

- Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadi dengan Tuhannya.

- Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungannya dengan masyarakat.

- Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dengan kehidupan yang akan datang.

- Sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah Allah di bumi.

Dalam melaksanakan evaluasi pendidika Islam ada 2 cara yang dapat ditempuh diantaranya:

a. Kuantitatif

Evaluasi kuantitatif adalah cara untuk mengetahui sebuah hasil pendidikan dengen cara memberikan penilaian dalam bentuk angka. (5, 7,90) dan lain-lain.

b. Kualitatif 

Evaluasi kualitatif adalah suatu cara untuk mengetahui hasil pendidikan yang diberikan dengan cara memberikan pernyataan verbal dan sejenisnya (bagus, sangat bagus, cukup, baik, buruk) dan lain-lain.


III. KESIMPULAN

Dari pemaparan tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya kata evaluasi berasal dari kata asing “evaluation” yang berarti menilai (tetapi diadakan pengukuran terlebih dahulu).

Dari pendapat-pendapat para ahli yang mendefinisikan tentang evaluasi. Pada hakekatnya dalam evaluasi pengajaran memiliki tiga unsur yaitu, kegiatan evaluasi, informasi dan data yang berkaitan dengan obyek yang dievaluasi.

Tujuan dan fungsi evaluasi tidak hanya ditekankan pada aspek kognitif akan tetapi meliputi ketiga ranah tersebut (kognitif, afektif dan psikomotorik). Yang mempunyai tiga prinsip yaitu prinsip keseimbangan, menyeluruh dan obyektif. Dalam kegiatan evaluasi tersebut sistem yang dipakai yaitu mengacu pada al-Qur’an yang penjabarannya dituangkan dalam as-Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
- Thoha, M. Chabib, Teknik Evaluasi pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
- Daryanto, Drs. H., Evaluasi Pendidikan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
- Samsul, MA., Drs., Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, teoritis, dan praktis, Ciputat Press, Jakarta, 2000.
- Arief, Armai, MA., DR., Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2002.
- Muhaimin, MA., Drs., Memikirkan Pendidikan Islam, PT. Rineka Cipta, Jakarta 1993.
- Rusyam, Tabrani, dkk., Pendekatan Proses Belajar Mengajar, Gramedia, Jakarta, 1989.
- Nata Abudin, H., Filsafat Pendidikan Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. 

- Ihsan, Hamdani, Drs. H., Filsafat Pendidikan islam, Pustaka Setia, Bandung, 1998.



[1] M. Chabib Thaha, Teknik Evaluasi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, hal. I.

[2] Daryanto, Evaluasi Pendidikan, hal. 2.

[3] Samsul Nitar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, 2002, hal. 80.

[4] M. Chabib Thaha, Teknik Evaluasi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, hal. 6.

[5] Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, hal. 279-280.

[6] Tasrani Rusyan, dkk, Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar, hal. 211.

[7] Samsul Nitar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis.

[8] Abubin Rata, Filsafat Islam, hal. 143.

[9] H. Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 225.
Posted by Ibnu at 07:05 1 comments 
Labels: PAI, Pendidikan 
GURU PAI YANG IDEAL


I. PENDAHULUAN

Guru sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar, memiliki posisi yang sangat menentukan keberhasilan, karena fungsi adalah merancang, mengelola, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran. Di samping itu, kedudukan guru dalam kegiatan belajar mengajar juga sangat strategis dan menentukan. Strategis karena guru yang akan menentukan kedalaman dan keluasan materi pelajaran, bersifat menentukan karena guru yang memilah dan memilih bahan pelajaran yang akan disajikan kepada peserta didik. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan guru ialah kinerja di dalam merencanakan atau merancang, melaksanakan dan mengevaluasi proses belajar mengajar. Untuk menjadi guru pendidikan Agama Islam yang ideal haruslah memiliki beberapa kemampuan dan juga harus memiliki syarat-syarat tertentu.


II. Pembahasan

A. Sebenarnya, agama Islam mengajarkan bahwa setiap umat Islam wajib mendakwahkan dan mendidikkan ajaran agama Islam kepada yang lain. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Nahl 125, Q.S. Al-Syuro’ 15, Q.S. Ali Imron 104, dan Q.S. Al-‘Ashr 1-3. Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat di pahami bahwa siapapun dapat menjadi pendidik agama Islam, asalkan mempunyai pengetahuan (kemampuan) lebih, mampu mengimplisitkan nilai relevan (dalam pengetahuan itu), yakni sebagai penganut agama yang patut dicontoh dalam agama yang diajarkan, dan bersedia menularkan pengetahuan agama serta nilainya kepada orang lain.[1]

Asumsi yang melandasi keberhasilan baru pendidikan agama Islam dapat di formalisasikan sebagai berikut : guru pendidikan agama Islam akan berhasil menjalankan tugas kependidikannya bilamana guru tersebut mempunyai kompetensi Personal-Religius dan Kompetensi Profesional-Religius.[2]

Sedangkan menurut Soejono mengatakan bahwa syarat guru dalam Islam ialah :[3]

1. Tentang umur, harus sudah dewasa

Di negara kita, seseorang dianggap dewasa sejak berusia 18/ sudah kawin. Menurut ilmu pendidikan 21 tahun bagi pria dan 18 tahun bagi wanita.

2. Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani

Jasmani yang sehat, harus memperlancar pelaksanaan pendidikan dari segi rohani, orang gila berbahaya bila mendidik begitu juga orang idiot.

3. Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli

Orang tua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan dengan pengetahuannya itu di harapkan akan lebih mampu menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya dirumah.

4. Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi

Syarat ini amat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar bagaimana guru akan memberikan contoh-contoh : kebaikan bila ia sendiri tidak baik perangainya?

Di samping itu ada syarat-syarat lain yaitu :[4] 

1. Syarat Formal

a. Berijazah

b. Guru agama harus sehat jasmani maupun rohani

c. Guru agama tidak cacat jasmaninya

2. Syarat Keguruan

Yang dimaksud dengan syarat material ialah :

a. Menguasai ilmu yang akan diajarkan

Guru agama harus dapat menyampaikan pelajaran agama kepada muridnya dengan baik karena berhasil atau tidaknya guru agama dalam menyampaikan atau melaksanakan tugasnya tidak semata-mata tergantung pada penguasaan bahan, tetapi tergantung juga pada cara menyampaikan pelajaran.

b. Mengerti ilmu didaktik, tahu tentang cara mengajar (metodik)

Guru agama yang memiliki ilmu agama cukup, harus pula memiliki ilmu didoktik dan metodik karena ilmu itu akan membantu menyampaikan bahan pelajaran agama, agar dapat mencapai hasil maksimal.

c. Mengerti ilmu jiwa

Guru harus mengertu ilmu jiwa yang meliputi : ilmu jiwa perkembangan, IJB dan IJA

3. Syarat Non Formal

a. Memiliki loyalitas terhadap pemerintah, yang dimaksud adalah kepribadian Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

b. Berakhlak mulia serta taat melaksanakan ajaran agama Islam.

c. Memiliki dedikasi terhadap tugasnya sebagai guru agama. Dalam bertugas ia harus ikhlas dan mencintai tugasnya.

d. Guru agama harus pemaaf.

Guru agama harus dapat memahami dirinya, sanggup menahan kemarahan dan harus sabar serta tidak pendendam.

e. Guru agama harus peka terhadap tabiat murid.

Bagi murid yang agak kurang kemampuannya dalam menerima pelajaran agama, guru harus tahu dan mampu membimbing atas keberhasilannya murid dalam mempelajari agama.

f. Guru agama harus mempunyai sifat terbuka.

g. Guru agama harus zuhud.

Dalam menjalankan tugasnya di dasarkan kepada keridhoan Allah SWT, tidak mengutamakan materi.

B. Selain itu untuk menjadi guru PAI yang ideal juga harus mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1. Memiliki keterampilan dasar (Basic Skill)

Keterampilan yang di maksud ialah ilmu dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan di sekolah formal

Adapun profil kemampuan dasar bagi seorang pendidik adalah :

a. Menguasai materi pembelajaran, baik dalam kurikulum maupun aplikasinya dalam materi pembelajaran.

b. Mampu mengelola program pembelajaran.

c. Mampu mengelola kelas dan menciptakan iklim pembelajaran yang konduktif.

d. Menggunakan media atau sumber belajar.

e. Menguassai landasan-landasan kependidikan.

f. Mampu mengelola interaksi dalam proses pembelajaran dan memberika penilaian yang komprehensif kepada siswa.

2. Menguasai keterampilan khusus (Spesialisasi).

Tenaga kerja yang memiliki keahlian khusus akan mampu bertahan dan bersaing di abad mendatang.

3. Menguasai keterampilan komputer.

Hampir semua sisi umat manusia tidak terlepas pada pelajaran komputer. Kehidupan manusia di abad mendatang akan sangat tergantung pada pelajaran komputer.

4. Menguasai keterampilan berkomunikasi dengan bahasa asing.

Berkomunikasi dengan bahasa asing, mutlak diperlukan di era globalisasi ini terutama bahasa Inggris.

5. Menguasai keterampilan manajerial dan kepemimpinan.

Kompetensi manajerial di tandai oleh kemampuan mengatur dan mengelola organisasi menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna.

Bila dihubungkan dengan kualitas, profesionalitas harus mampu menanamkam prioritas pada pola kerja tim dan membangun budaya masyarakat lokal yang kuat, termasuk di lingkungan lembaga pendidikan. Guru PAI yang ideal (profesional) harus memiliki kemampuan.[5]

1. Meingkatkan kemampuan strategi pengendalian resiko di antara teman seprofesi.

2. Memiliki kreativitas yang tinggi dan mampu menghadapi setiap manusia yang berbeda.

3. Komitmen terhadap pekerjaan walaupun sangat sulit.

4. Konsisten pada setiap orang dan berprilaku pamong dalam kesehariannya, bukan hanya sekedar di atas kertas kebijakan atau prosedur-prosedur.

5. Mengembangkan norma kolaborasi.

6. Saling mendorong dan memberikan bantuan.

7. Kemampuan melihat problem sebagai masalah bersama.



DAFTAR PUSTAKA

Dr. Mukhtar, M.Pd., Desain Pembelajaran PAI, CV. Misaka Galiza, Jakarta, 2003

Drs. Muhaimin, MA., Paradigma Pendidikan Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.

Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.

Depag RI., Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam Pada SD, CV. Multigaya, Jakarta, 1986.


[1] Drs. Muhaimin, M.A., Paradigma Pendidikan Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 93.

[2] Ibid, hlm. 97

[3] Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 80

[4] Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam Pada SD, hlm. 46-49

[5] Dr. Mukhtar, M.Pd., Desain Pembelajaran PAI, CV. Misaka Galiza, Jakarta, hlm. 82
Posted by Ibnu at 07:02 0 comments 
Labels: PAI, Pendidikan 
GURU DAN ANAK KREATIF ATAUPUN ANAK BERBAKAT


Setiap anak didik mempunyai bakat yang berbeda-beda. Setiap guru pasti akan merasakan tentang perbedaan mereka. Di benak kita pasti akan terlintas pertanyaan “apa sich sebenarnya bakat itu?” Bagi pendidik / guru, pertanyaan-pertanyaan ini sangatlah penting. “Bakat” (aptitude) pada umumnya diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Berbeda dengan bakat, “kemampuan” merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Kemampuan menunjukkan bahwa suatu tindakan (performance) dapat dilakukan sekarang. Sedangkan bakat memerlukan latihan dan pendidikan agar suatu tindakan dapat dilakukan dimasa yang akan datang. Bakat dan kemampuan menentukan “prestasi” seseorang. Jadi prestasi merupakan perwujudan dari bakat dan kemampuan.

Banyak faktor-faktor yang menentukan sejauh mana bakat seseorang dapat terwujud. Faktor-faktor itu sebagian ditentukan oleh keadaan lingkungan seseorang, seperti kesempatan, sarana dan prasarana yang tersedia, sejauh mana dukungan dan dorongan orang tua, taraf sosial ekonomi orang tua, tempat tinggal, di daerah perkotaan atau di pedesaan, dan sebagainya. Sebagian besar faktor ditentukan oleh keadaan dari diri orang itu sendiri. Seperti minatnya terhadap suatu bidang, keinginannya untuk berprestasi, dan keuletannya untuk mengatasi kesulitan atau rintangan yang mungkin timbul. Untuk mendukung prestasi seseorang itu juga ditentukan oleh tingkat kecerdasannya (intelegensi). Sedangkan kecerdasan ditentukan baik oleh bakat bawaan (berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tuanya) maupun oleh faktor lingkungan (termasuk semua pengalaman dan pendidikan yang pernah diperoleh seseorang; terutama tahun-tahun pertama dari kehidupan mempunyai dampak terhadap kecerdasan seseorang).

Secara umum intelegensi dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Kemampuan untuk berfikir abstrak

b. Kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar

c. Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru
IQ    
Klasifikasi     
% dalam populasi

130 ke atas

120 – 119 

110 – 119

90 – 109

80 – 89

70 – 79

di bawah 70    
Sangat unggul

Unggul

Cakap normal

Rata-rata

Lamban normal 

Batas dungu

Cacat mental    
2,2

6,7

16,1

50,0

16,1

6,7

2,2


Klasifikasi Inteligensi menurut Wechsler

· Keterbakatan dan Anak Berbakat

Keterbakatan adalah sesuatu yang majemuk, artinya meliputi macam-macam ranah atau aspek, tidak hanya kecerdasan. Renzuli dkk, (1981) dari hasil-hasil penelitiannya menarik kesimpulan bahwa yang menentukan keterbakatan seseorang adalah pada hakikatnya tiga kelompok (cluster) ciri-ciri, yaitu:

1. Kemampuan di atas rata-rata

2. Kreativitas

3. Pengikatan diri atau tanggung jawab terhadap tugas (task-commitment)

Adapun yang dimaksud dengan “anak berbakat” adalah mereka yang karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul mampu memberi prestasi yang tinggi.

Ada beberapa metode untuk mengidentifikasi anak berbakat secara umum bisa dibedakan dua pendekatan:

1. Dengan penggunaan alat-alat tes

Meliputi dua tahap:

a. Tahap penyaringan atau “screening” dengan tes kelompok yang sudah dibakukan. Biasanya tes aptitude seperti tes inteligensi, dan tes prestasi belajar

b. Tahap seleksi atau identifikasi dengan tes individual. Ini lebih halus dan mengukur kemampuan seseorang dengan teliti dan tepat. Tes inteligensi individual yang populer adalah Wechsler dan Stanford Binet.

2. Pendekatan kedua adalah identifikasi melalui studi kasus, yaitu memperoleh sebanyak mungkin keterangan tentang anak yang diperkirakan berbakat dari sumber-sumber yang berbeda-beda.

Martinson (1974) mendaftar ciri-ciri anak berbakat sebagai berikut:

- Membaca pada usia lebih muda

- Membaca lebih cepat dan lebih banyak

- Memiliki perbendaharaan kata yang luas

- Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat

- Mempunyai minat yang luas

- Mempunyai inisiatif

- Dapat memberikan banyak gagasan

- Luwes dalam berfikir

Itu adalah sebagian dari ciri-ciri yang disebutkan oleh Martinson.

· Pengembangan Kreativitas Anak atau Keterbakatan Anak

Mengapa kreatifitas perlu dan penting sekali di pupuk dan dikembangkan pada diri anak? Ini disebabkan :

Pertama, karena dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya dan perwujudan diri dari termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Maslow (1968) yang menyelidiki sistem kebutuhan manusia menekankan bahwa kreativitas merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya.

Kedua, kreativitas atau berfikir kreatif, sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan formal. (Guilford, 1957).

Ketiga, bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat, tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu. Dari wawancara dengan tokoh-tokoh yang telah mendapat penghargaan karena berhasil menciptakan sesuatu yang bermakna, yaitu para ilmuwan dan ahli penemu, ternyata kepuasan sangat berperan. Kepada mereka ditanyakan : Apakah yang mendorong mereka sehingga tanpa pamrih memberikan begitu banyak waktu dan tenaga serta sering juga mengorbankan kehidupan yang mewah agar menciptakan sesuatu? Kebanyakan dari mereka menjawab : “Karena hal itu memberikan kepuasan pribadi yang tak terhingga”. (Biondi, 1972).

Keempat, kreatifitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya.

Sesungguhnya bakat kreatif dimiliki oleh semua orang tanpa pandang bulu, dan yang lebih penting lagi ditinjau dari segi pendidikan adalah bahwa bakat itu dapat ditingkatkan, dan karena itu perlu dipupuk sejak dini. Memang harus diakui bahwa setiap orang berbeda dalam macam bakat yang dimiliki serta derajat atau tingkat dimilikinya bakat tersebut. Adanya perbedaan bakat tentu dialami oleh baik setiap guru maupun setiap orang tua dalam menghadapi anak-anak didik. Semua murid di dalam kelas mempunyai bakat tertentu, tetapi masing-masing dalam bidang yang berbeda-beda yang satu lebih menonjol daripada yang lain.

Walaupun setiap orang mempunyai bakat kreatif, namun kalau tidak dipupuk bakat tersebut tidak akan berkembang, bahkan bisa menjadi bakat terpendam, yang tidak dapat diwujudkan.

· Pelayanan Pendidikan Untuk Anak Berbakat

Kemampuan dasar atau bakat yang luar biasa yang dimiliki seorang anak memerlukan serangkaian perangsangan (stimulasi) yang sistematis, terencana dan terjadwal agar apa yang ada, yang dimiliki, menjadi aktual, berfungsi sebaik-baiknya. Membiarkan seorang anak berkembang sesuai dengan azas kematangan saja akan menyebabkan perkembangan menjadi tidak sempurna dan bakat-bakat yang luar biasa yang sebenarnya mempunyai potensi untuk bisa diperkembangkan menjadi tidak berfungsi.

Tanpa pendidikan khusus yang meliputi pengasuhan yang baik, pembinaan yang terencana dan perangsangan yang tepat, mustahil seorang anak akan bisa begitu saja mengembangkan bakat-bakatnya yang baik dan mencapai prestasi yang luar biasa. Tanpa pendidikan khusus, bakat-bakat yang dimiliki akan terpendam (latent) atau hanya muncul begitu saja dan tidak berfungsi optimal.

Faktor yang perlu diperhatikan agar mencapai hasil yang diharapkan yakni:

1. Faktor yang ada pada anak itu sendiri, yaitu perlunya mengenal anak. Mengenal dalam arti mengetahui semua ciri khusus yang ada pada anak secara obyektif.

2. Faktor kurikulum yang meliputi:

a. Isi dan cara pelaksanaan yang disesuaikan dengan keadaan anak (child centered)

b. Perlu ditekankan bahwa kurikulum pada pendidikan khusus hendaknya tidak terlepas dari kurikulum dasar yang diberikan untuk anak lain.

c. Kurikulum khusus diarahkan agar perangsangan-perangsangan yang diberikan mempunyai pengaruh untuk menambah atau memperkaya program dan tidak semata-mata untuk mempercepat berfungsinya sesuatu bakat luar biasa yang dimiliki.

d. Isi kurikulum harus mengarah pada perkembangan kemampuan anak yang berorientasi inovatif dan tidak reproduktif serta berorientasi untuk mencapai sesuatu yang tidak hanya sekedar memunculkan apa yang dimiliki tanpa dilatih menjadi kreatif.

3. Hal lain yang penting adalah tersedianya faktor lingkungan yang berfungsi menunjang. Tujuan institusional dan instruksional serta isi kurikulum yang disusun secara khusus bagi anak berbakat membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai.

Guru yang melaksanakan tugas-tugas kurikuler yang telah digariskan mempunyai peranan yang penting agar apa yang akan diajarkan bisa merangsang perkembangan seluruh potensi yang dimiliki serta berhasil melatih setiap aspek yang berkembang memperlihatkan fungsi-fungsi kreatif dan produktif.

Mengenai pelaksanaan pendidikan khusus untuk anak berbakat pada umumnya dikelompokkan dalam tiga bentuk:

“Pemerkayaan” yaitu pembinaan bakat dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas belajar tambahan yang bersifat pendalaman kepada anak berbakat setelah yang bersangkutan menyelesaikan tugas-tugas yang diprogramkan untuk anak pada umumnya (independent study, projects, dan sebagainya).

“Percepatan” yaitu cara penanganan anak berbakat dengan memperbolehkan anak naik kelas secara melompat, atau menyelesaikan program reguler di dalam jangka waktu yang lebih singkat. Variasi bentuk-bentuk percepatan adalah antara lain early admission, advanced placement, advanced courses. 

“Pengelompokan Khusus” dilakukan secara penuh atau sebagian, yaitu bila sejumlah anak berbakat dikumpulkan dan diberi kesempatan untuk secara khusus memperoleh pengalaman belajar yang sesuai dengan potensinya.

Selain bentuk-bentuk pembinaan tersebut di atas, ada pula cara-cara pembinaan yang lebih bersifat informal misalnya dengan pemberian kesempatan meninjau lembaga-lembaga penelitian-pengembangan yang relevan, atau pengadaan perlombaan-perlombaan.

· Penyiapan Guru Untuk Anak Berbakat

Kualifikasi guru untuk anak berbakat dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kualifikasi profesi, kualifikasi kepribadian, dan kualifikasi hubungan sosial. Persyaratan profesional / pendidikan antara lain meliputi:

- Sudah berpengalaman mengajar

- Menguasai berbagai teknik dan model belajar mengajar

- Bijaksana dan kreatif mencari berbagai akal dan cara

- Mempunyai kemampuan mengelola kegiatan belajar secara individual dan kelompok

- Menguasai teknik dan model penilaian

- Mempunyai kegemaran membaca dan belajar

Persyaratan kepribadian antara lain:

- Bersikap terbuka terhadap hal-hal baru

- Peka terhadap perkembangan anak

- Mempunyai pertimbangan luas dan dalam

- Penuh pengertian

- Mempunyai sikap toleransi

- Mempunyai kreativitas yang tinggi

- Bersikap ingin tahu

Persyaratan hubungan sosial antara lain:

- Suka dan pandai dengan anak berbakat dengan segala keresahannya dan memahami anak tersebut

- Dapat menyesuaikan diri

- Mudah bergaul dan mampu memahami dengan cepat tingkah laku orang lain. (S.C.U. Munandar, 1981)

Implikasi bagi guru anak berbakat disimpulkan oleh Barbie dan Renzulli (1975) sebagai berikut:

a. Pertama-tama guru perlu memahami diri sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang dilakukan guru, tetapi juga bagaimana guru melakukannya

b. Disamping memahami diri sendiri, guru perlu memiliki pengertian tentang keterbakatan

c. Setelah anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.

d. Guru anak berbakat lebih banyak memberikan tantangan daripada tekanan

e. Guru anak berbakat tidak hanya memperhatikan produk atau hasil belajar siswa, tetapi lebih-lebih proses belajar.

f. Guru anak berbakat lebih baik memberikan umpan balik daripada penilaian

g. Guru anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif strategi belajar

h. Guru hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa harga diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani mengambil resiko dalam menentukan pendapat dan keputusan.

· Peran Orang Tua dalam Memupuk Bakat dan Kreativitas Anak

Kebanyakan, orang tua cenderung menuntut terlalu banyak dari anak berbakat dengan maksud mengembangkan bakat-bakatnya semaksimal mungkin. Padahal, anak berbakat pun memerlukan waktu untuk bermain-main, untuk bergaul dengan anak-anak lain, untuk membaca buku-buku biasa dan tidak semata-mata buku pelajaran.

Ada sementara orang tua yang karena dulu cita-citanya tidak terkabul berhasrat agar anak merekalah yang dapat meneruskan cita-cita orang tuanya, tanpa memperhatikan bagaimana minat dan kebutuhan anak tersebut.

Di lain pihak ada orang tua yang justru khawatir terhadap suatu perkembangan keterbakatan anak akan membawanya justru pada suatu kehidupan yang tidak wajar. Oleh karena itu, mereka tidak menginginkan pertumbuhan intelektual yang terlalu cepat. Banyak pula guru yang mempunyai kekhawatiran yang sama. Akibatnya mereka dengan sengaja tidak memberikan perhatian khusus kepadanya di sekolah, tidak memberikan kesempatan untuk maju sesuai dengan kemampuan-kemampuan yang unggul.

Orang tua yang bijaksana dapat membedakan antara memberi perhatian terlalu banyak atau terlalu sedikit, antara memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya dan memberi tekanan untuk berprestasi semaksimal mungkin.

Ada beberapa hal yang dapat memudahkan orang tua agar lebih mantap dalam menghadapi dan membina anak berbakat (Ginsberg dan Harrison, 1977; Vernon, 1977) diantaranya adalah:

1. Pertama-tama perlu diingat bahwa anak berbakat itu tetap anak dengan kebutuhan seorang anak

2. Jika ada anak-anak lain dalam keluarga, janganlah membandingkan anak berbakat dengan kakak-adiknya atau sebaliknya.

3. Jangan pula suka membandingkan anak berbakat Anda dengan anak tetangga

4. Sempatkan diri untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya

5. Berilah kesempatan seluas-luasnya untuk memuaskan rasa ingin tahunnya dengan menjajaki macam-macam bidang, namun jangan memaksakan minat-minat tertentu

6. Jika anak berbakat ingin mendalami salah satu bidang yang diamati, berilah kesempatan, karena belum tentu kesempatan itu ada di sekolah.

· Kerjasama Antara Keluarga, Sekolah dan Masyarakat 

Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama keluarga (orang tua), sekolah, dan masyarakat. Keluarga dan sekolah dapat bersama-sama mengusahakan pelayanan pendidikan bagi anak berbakat, misalnya dalam memandu dan memupuk minat anak. Tokoh-tokoh dalam masyarakat dapat menjadi “tutor” untuk anak berbakat yang mempunyai minat yang sama. Pada waktu-waktu tertentu di luar jam sekolah siswa dapat diterima oleh tokoh-tokoh ini untuk berdiskusi dan bersama-sama melakukan suatu kegiatan.

Semua usaha yang dilakukan itu tidak akan sia-sia, karena bukanlah “Kejayaan suatu bangsa dan negara bergantung dari bagaimana masyarakatnya menghargai dan memanfaatkan sumber daya manusianya berupa potensi unggul untuk menghadapi masalah-masalah hari esok”. (S.C.U. Munandar, 1983).



Referensi :

- S.C.U. Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992.

- Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, dkk., Anak-Anak Berbakat Pembinaan dan Pendidikannya, Jakarta: CV. Rajawali, 1982.
Posted by Ibnu at 07:00 0 comments 
Labels: Pendidikan 
FUNGSI LINGKUNGAN DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN


I. Pendahuluan

Dalam kehidupan ini sebenarnya manusia sudah dihadapkan pada lingkungan semenjak masih dalam kandungan ibunya. Manusia dan lingkungan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mempengaruhi.

Perkembangan kepribadian seseorang baik dari segi fisik maupun psikis dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kepribadian merupakan suatu kesatuan aspek jiwa dan badan yang disebut integrasi, integrasi dari pokok-pokok kepribadian yang dibentuk oleh seseorang melalui proses interaksi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan dalam maupun lingkungan sekitarnya.


II. Pembahasan 

A. Konsep Lingkungan dan Kepribadian

1. Lingkungan

Kata lingkungan dalam pengertian umum, berarti segala sesuatu yang ada disekitar kita.[1] Sedangkan dalam lingkup pendidikan, arti lingkungan sangat luas yaitu segala sesuatu yang berada di luar diri manusia dan yang mempunyai arti bagi perkembangannya serta senantiasa memberikan pengaruh terhadap dirinya.[2] Jika lingkungan tersebut berupa faktor yang dengan sengaja diciptakan oleh pendidik, maka disebut lingkungan pendidikan.

Lingkungan ini mengitari manusia sejak dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Antara lingkungan dan manusia ada pengaruh yang timbal balik, yang keduanya tidak dapat dipisahkan.

Dalam ilmu psikologi, lingkungan disebut dengan environment (Milieu).[3] Jadi bukan surrounding yang berarti keadaan sekeliling saja. Karena kata environment mencakup semua faktor di luar diri manusia yang mempunyai arti bagi dirinya, dalam arti memungkinkan untuk memberikan reaksi pada diri manusia tersebut. Jadi antara kita (manusia) dan lingkungan terjadi interaksi yang terus menerus.

Lingkungan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Lingkungan fisik (physical environment)

Yaitu lingkungan / segala sesuatu di sekitar kita yang berupa benda mati, misalnya: rumah, kendaraan, udara, air dan sebagainya.

b. Lingkungan biologis

Yaitu lingkungan yang berupa makhluk hidup, lingkungan ini dibedakan menjadi 2, yaitu lingkungan tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hewan.

c. Lingkungan abstrak

Semua hal yang abstrak juga bisa dimasukkan dalam lingkungan, jika hal tersebut telah menyatu dengan manusia. Termasuk semua hal yang abstrak, misalnya: pengetahuan, kesenian, kebudayaan, nilai kehidupan seperti aturan-aturan pergaulan, tata krama, sopan santun dan sebagainya.[4]

2. Kepribadian

Pada dasarnya jiwa manusia terdiri dari dua aspek, yaitu aspek kemampuan yang meliputi inteligensi dan bakat, sedangkan aspek kepribadian meliputi watak, sikap, sifat dan minat.[5]

Kemajemukan kepribadian manusia ini menimbulkan beberapa pendapat yang berbeda di kalangan para ahli psikologi, diantaranya adalah George Kelly merumuskan bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya, sedangkan Gordon Allport berpendapat bahwa kepribadian merupakan suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas.[6] Sementara Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari 3 sistem, yaitu id, go, dan super ego.[7]

Dari pendapat-pendapat para ahli psikologi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kepribadian adalah struktur kerohanian yang kompleks dan tampak dalam tingkah laku suatu individu.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian

Kepribadian merupakan aspek jiwa dan badan yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Pengaruh itu tidak sama antara satu dengan yang lain, maka tidak ada kepribadian manusia yang sama persis meskipun saudara kembar.

Kepribadian manusia dapat berubah karena berbagai pengaruh. Pembentukan kepribadian dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

1. Faktor dari dalam diri manusia

Faktor-faktor yang meliputi fisik dan psikis manusia. 

Misalnya: struktur tubuh, keadaan fisik dan mental, dan sebagainya.

2. Faktor dari lingkungan 

Meliputi keadaan situasi sekitar diri seseorang maupun orang lain yang berada di lingkungan tersebut.

Faktor lingkungan yang paling berperan dalam pembentukan pribadi manusia adalah rumah, sekolah dan teman sebaya.[8]

Misalnya: di dalam rumah anak tersebut di manja, sehingga dia tumbuh menjadi anak yang manja.

C. Fungsi Lingkungan dalam Pembentukan Kepribadian

Dalam proses pembentukan kepribadian telah dibahas mengenai faktor-faktor yang berperan di dalamnya. Dalam hubungan saling pengaruh mempengaruhi, akan terlihat bahwa seseorang dalam perkembangan dirinya memperlihatkan sifat-sifat yang tertuju pada lingkungan, dimana lingkungan menerima sifat-sifat tersebut, dan memperlihatkan reaksi yang dibentuk atas dasar sifat-sifat, penampilan anak dan pengolahan lingkungan dengan proses perubahannya.[9] Lingkungan yang berubah juga dapat memberikan perangsang pada seseorang yang sangat mempengaruhi terhadap perkembangannya, khususnya perkembangan pembentukan kepribadian. Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang mencapai taraf kecanggihan tertentu sehingga seseorang tersebut selalu dapat mereproduksi diri secara terus menerus, mengatasi krisis-krisis yang dialaminya melalui mekanisme-mekanisme yang ada dalam dirinya. Sehingga dengan demikian perkembangan seseorang memberikan penampilan kepada lingkungan yang merubahnya. Dari uraian tersebut terlihat suatu hubungan timbal balik antara seseorang dengan konstitusi yang berkembang terus dan lingkungan yang merubahnya.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya kalau kita simpulkan bahwa pengaruh lingkungan sangat besar dalam pembentukan kepribadian seseorang, meskipun kadar kebesarannya tidak dapat kita tentukan. Atas dasar inilah dalam usaha mengerti kepribadian seseorang, kita tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan dimana manusia tumbuh dan berkembang.




DAFTAR PUSTAKA

A.W. Wijaya, Drs., Individu, Keluarga dan Masyarakat, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986.

Abu Ahmadi, Drs. H., dkk., Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Ahmad Tantowi, Psikologi Pendidikan, Angkasa, Jakarta, 1986.

Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

Samsi Haryanto, Dr., M.Pd., Pengantar Teori Pengukuran Kepribadian, Sebelas Maret University, Surakarta, 1994.

Singgih D. Gunarsa, Dr., Psikologi Untuk Membimbing, BPK Gunung Muria, Jakarta, 1992.


[1] Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 9.

[2] Ahmad Tantowi, Psikologi Pendidikan, Angkasa, Jakarta, 1986, hlm. 56.

[3] Drs. H. Abu Ahmadi, dkk., Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 64.

[4] Fuad Amsyari, op.cit., hlm. 11.

[5] Dr. Samsi Haryanto, M.Pd., Pengantar Teori Pengukuran Kepribadian, Sebelas Maret University, Surakarta, 1994, hlm. 1.

[6] Ibid., hlm. 2.

[7] Drs. A.W. Wijaya, Individu, Keluarga dan Masyarakat, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hlm. 146.

[8] Dr. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Membimbing, BPK Gunung Muria, Jakarta, 1992, hlm. 69.

[9] Ibid., hlm. 80.
Posted by Ibnu at 06:58 0 comments 
Labels: Pendidikan 
EVALUASI PENDIDIKAN [2]



I. Pendahuluan

Islam dengan sumber ajaran al-Qur’an dan hadits yang diperkaya penafsiran para ulama ternyata menunjukkan dengan jelas berbagai masalah dalam bidang pendidikan yang telah memberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya baik pria maupun wanita yang berlangsung seumur hidup semenjak dari buaran hingga ajal datang (al-Hadits) – life is education.[1]

Dalam proses evaluasi pendidikan memiliki kedudukan penting dalam pencapaian hasil yang digunakan sebagai input untuk perbaikan kegiatan pendidikan. Untuk mengetahui lebih jelas tentang evaluasi pendidikan, akan dipaparkan tentang pentingnya evaluasi yang berhubungan dengan ayat-ayat pendidikan.


II. Pembahasan

A. Pengertian Evaluasi Pendidikan

Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti tindakan atau proses untuk menemukan nilai sesuatu atau dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang ada hubungannya dengan. Dalam bahasa Arab evaluasi dikenal dengan istilah “imtihan” yang berarti ujian. Dan dikenal dengan istilah khataman sebagai cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan.[2]

Menurut Soegarda Poerbawakatja dalam “Ensiklopedi Pendidikan” menguraikan pengertian pendidikan yang lebih luas, sebagai “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan serta ketrampilannya (orang menamakan ini juga “mengalihkan” kebudayaan) kepada generasi muda, sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah”. Dapat pula dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan pengaruh kedewasaan si anak yang selalu diartikan mampu memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatan.[3]

Jika kata evaluasi dihubungkan dengan kata pendidikan, maka dapat diartikan sebagai proses membandingkan situasi yang ada dengan kriteria tertentu terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan, untuk itu evaluasi pendidikan sebenarnya tidak hanya menilai tentang hasil belajar siswa tersebut, seperti evaluasi terhadap guru, kurikulum, metode, sarana prasarana, lingkungan dan sebagainya.[4]

Selain istilah evaluasi, terdapat pula istilah lain yang hampir berdekatan, yaitu pengukuran dan penilaian. Sementara orang lebih cenderung mengartikan ketiga kata tersebut sebagai suatu pengertian yang sama, sehingga dalam memaknainya tergantung dari kata mana yang siap diucapkan.[5]

B. Kedudukan Evaluasi Pendidikan

Ajaran Islam menaruh perhatian yang besar terhadap evaluasi pendidikan. Oleh karena itu, jika evaluasi dihubungkan dengan kegiatan pendidikan memiliki kedudukan yang amat strategis, maka hasilnya dapat digunakan sebagai input untuk melakukan perbaikan kegiatan dalam bidang pendidikan.

Dalam berbagai firman Allah SWT memberitahukan kepada kita, bahwa pekerjaan evaluasi terhadap manusia didik adalah merupakan suatu tugas penting dalam rangkaian proses pendidikan yang telah dilaksanakan oleh pendidikan.[6] Hal ini, misalnya dapat dipahami dari ayat yang berbunyi sebagai berikut:

وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَ ئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ {31} قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ {32}

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (al-Baqarah : 31-32)

Dia, yakni Allah mengajarkan Adam nama-nama seluruhnya, yakni memberinya benda-benda dan mengajarkan fungsi benda-benda.

Setelah pengajaran Allah dicerna oleh Adam as sebagaimana dipahami dari kata kemudian, Allah memaparkan benda-benda itu kepada malaikat lalu berfirman “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu, jika kamu orang-orang yang benar dalam dugaan kau bahwa kalian lebih wajar menjadi khalifah”.

Para malaikat yang ditanya itu secara tutur menjawab sambil mensucikan Allah, tidak ada pengetahuan bagi kami selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang maha mengetahui lagi maha bijaksana. Maksudnya bukan karena Engkau tidak tahu, tetapi karena ada hikmah diantara itu.[7]

قَالَ يَا آدَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّا أَنبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ {33}

Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (al-Baqarah : 33)

Untuk membuktikan kemampuan khalifah kepada malaikat, Allah berfirman : "Hai Adam! beritahukanlah kepada mereka nama-namanya yakni benda itu". Perhatikanlah! Adam diperintahkan untuk “memberitahukan” yakni menyampaikan kepada malaikat, bukan “mengajar” mereka, pengajaran mengharuskan agar bahan pengajarannya dimengerti oleh yang diajarnya sehingga perlu mengulang-ulangi pelajaran hingga benar-benar dimengerti, berbeda dengan penyampaian atau berita yang tidak mengharuskan pengulangan dan berita harus di mengerti.[8]

Dari ayat tersebut ada empat hal yang dapat diketahui. Pertama, Allah SWT dalam ayat tersebut bertindak sebagai guru memberikan pengajaran kepada Nabi Adam as; kedua, para malaikat tidak memperoleh pengajaran sebagaimana yang telah diterima Nabi Adam. Ketiga, Allah SWT memerintah kepada Nabi Adam agar mendemonstrasikan ajaran yang diterima dihadapan para malaikat. Keempat, materi evaluasi atau yang diujikan haruslah yang pernah diajarkan.[9]

Selain Allah bertindak memberikan pengajaran kepada makhluk-Nya atau hamba-Nya dan dapat pula memberikan pengawasan dengan melalui perantara malaikat sebagai pencatat amal perbuatan manusia sebagaimana yang terdapat pada ayat berikut ini:

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ {18}

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas Raqib dan ‘Atid” (QS. Qaaf : 18)

Tiada keluar satu katapun dari mulut manusia kecuali padanya ada seorang malaikat yang menyaksikan, meneliti perbuatan, mencatat apa saja yang memuat pahala atau hukuman bagi manusia. Hikmah dari hal ini ialah bahwa Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia untuk di azab melainkan untuk dididik dan dibimbing. Maka, setiap penderitaan yang dialami oleh manusia adalah untuk meningkatkan jiwanya.[10]

C. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan

Tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan dibagi menjadi 2 macam, yaitu :

1. Tujuan umum

a. Untuk menghimpun bahan-bahan keterangan yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau kemajuan yang dialami oleh para peserta didik, setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu

b. Untuk mengetahui tingkat efektifitas dari metode-metode pengajaran yang telah dipergunakan proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.

2. Tujuan khusus

a. Untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan

b. Untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.[11]

Sebagaimana yang terdapat pada ajaran Islam, tujuan evaluasi dapat dipahami berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an antara lain disebutkan sebagai berikut :

1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problem kehidupan yang dialaminya. Sebagaimana terdapat pada QS. Al-Baqarah : 155

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ {155}

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah : 155)

Maksudnya : iman tidak menjamin untuk mendapatkan rizki yang banyak, kekuasaan dan tidak ada rasa takut tetapi berjalan sesuai ketentuan sunatullah yang berlaku untuk makhluknya. Seseorang yang mempunyai kesempurnaan iman dan dirinya mempunyai pengalaman digembleng dalam penderitaan maka adanya musibah justru akan membersihkan jiwanya.[12]

2. Untuk mengetahui sampai dimana atau sejauhmana hasil pendidikan wahyu yang telah ditetapkan Rasulullah SAW terhadap umatnya.

إِذْ قَالَ مُوسَى ِلأَهْلِهِ إِنِّي آنَسْتُ نَاراً سَآتِيكُم مِّنْهَا بِخَبَرٍ أَوْ آتِيكُم بِشِهَابٍ قَبَسٍ لَّعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ {7}

(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada keluarganya: "Sesungguhnya aku melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu khabar daripadanya, atau aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang." (QS. An-Naml : 7)

Maksudnya : seseorang akan merasa gembira dengan melihat api dari kejauhan ketika tersesat di malam gelap gulita, karena berharap dengan api itu dia tidak akan kebingungan, merasa aman di jalan dan dapat memanfaatkannya untuk berdiang, karena itulah Musa kembali dari tempat api yang membawa berita penting dan cahaya yang mulia.[13]

3. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat hidup keislaman atau keimanan manusia sehingga diketahui manusia yang paling mulia disisi Allah.

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ {103} وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ {104} قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ {105} إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءِ الْمُبِينُ {106} وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ {107}

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. Ash-Shaffat : 103-107)

Maksudnya : kerelaan Nabi Ibrahim dengan menyembelih anaknya demi keputusan Allah dengan tunduk dan patuh yang nyata keikhlasannya maka Allah pasti akan memberi balasan bagi setiap orang yang berbuat baik sesuai yang patut dia terima dan setimpal dengan yang dia peroleh.[14]

Allah menguji perbuatan manusia dengan kata imtahana seperti dapat dipahami pada ayat berikut : (60:10)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلاَ تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ {10}

Maksud dari ayat di atas adalah :

Dalam ayat-ayat ini Allah menerangkan golongan orang kafir yang ketiga, yaitu menyerahkan diri sesudah pada mulanya menolak keras, itulah yang dimaksud oleh ayat tersebut. Orang kafir ada tiga; 1) yang tetap kafir; 2) yang dapat diharapkan akan insaf; 3) yang benar-benar insaf. Tuhan menjelaskan lafal baiat yang diberikan oleh perempuan-perempuan yang beriman dan mengulangi kembali larangan tentang orang yang murkai Allah sebagai teman setia.[15]

Fungsi evaluasi 

1. Penilaian berfungsi selektif

Dengan cara mengadakan penilaian guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi atau penilaian terhadap siswanya.

2. Penilaian berfungsi diagnostik

Dengan mengadakan penilaian, sebenarnya guru mengadakan diagnostik kepada siswa tentang kebaikan dan kelemahannya, dengan diketahui sebab-sebab kelemahan ini, akan mudah di cari cara untuk mengatasinya.

3. Penilaian berfungsi sebagai penempatan.[16]

D. Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan dalam al-Qur’an

Evaluasi dapat terlaksana dengan baik apabila pelaksanaannya senantiasa berpegang pada tiga prinsip berikut ini.

1. Prinsip keseluruhan (al kamal : الكمال / al tamam : التمم)

Penilaian harus mengumpulkan data mengenai seluruh aspek kepribadian. Meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik

a. Aspek kognitif. Cara berfikir seseorang dalam setiap perbuatan

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {2}

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.[17]

b. Aspek afektif. Cara bersikap seseorang dalam perbuatan

إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ {3}

“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al-‘Ashr : 3).[18]

c. Aspek psikomotorik

كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ {3}

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.[19]

2. Prinsip kesinambungan (istimrar : استمرار)

Penilaian diusahakan secara kesinambungan / kontinuitas atau terus menerus.

قُلْ يَا قَوْمِ اعْمَلُواْ عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَن تَكُونُ لَهُ عَاقِبَةُ الدِّارِ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ {135}

Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan. (QS. Al-An’am : 135)[20]

3. Prinsip obyektivitas (maudluiyyah : موضوعية)

Penilaian diusahakan subjektivitas atau jujur, mengatakan sesuatu sesuai dengan apa adanya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ {119}

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (QS. At-Taubah:119).[21]

E. Prosedur / Teknik Evaluasi Pendidikan

Teknik evaluasi dalam pendidikan dapat dibagi beberapa langkah diantaranya :

1) Perencanaan

Dapat dilakukan dengan merumuskan tujuan evaluasi dalam suatu program belajar mengajar didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai.

2) Pengumpulan data

Dengan cara menetapkan aspek-aspek yang harus dinilai, artinya untuk memperoleh bahan informasi yang cukup tentang anak didik dengan diadakan evaluasi yang dapat ditempuh dengan langkah yaitu: pelaksanaan evaluasi, pemeriksaan hasil-hasil evaluasi, dan pemberian kode atau skor.

3) Verifikasi data

Dengan menentukan metode evaluasi yang akan digunakan aspek yang akan dinilai. Misalnya : untuk menilai sikap dipergunakan checklist. 

4) Analisis data

Dengan cara memilih atau menyusun alat-alat evaluasi yang akan dipergunakan berupa tes maupun bukan tes (non tes).

5) Penafsiran data

Dengan menentukan kriteria yang dipergunakan untuk menentukan frekuensi evaluasi dengan menyusun bahan pelajaran.


III. Kesimpulan

Evaluasi pendidikan yang merupakan proses belajar mengajar untuk menilai dari segala sesuatu yang terdapat pada diri seseorang baik berupa ucapan perbuatan dan hati sanubari, dalam hal ini, memberikan umpan balik terhadap program secara keseluruhan. Tolok ukur keberhasilan pengevaluasian tidak hanya tergantung pada tingkat keberhasilan tujuan dan pendidikan yang dapat dicapai, melainkan berkenaan dengan penilaian terhadap berbagai aspek yang dapat mempengaruhi proses belajar tersebut. Akhirnya, evaluasi Tuhan di dalam al-Qur’an bersifat makro dan universal dengan teknik psikotes, sedang sunnah nabi bersifat mikro untuk mengetahui kemajuan manusia termasuk Nabi sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Drs. Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Drs. H. Abuddin Nata, MA., Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Sugarda Poerbawakatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an), vol.3, Jakarta: Lentera Hati, 2000.

Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi (26), Semarang: CV. Toha Putra, 1989.

Prof. Drs. Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Grafindo Perkasa, 1996.

T.M. Hasbi Assiddieqi, Tafsir an-Nur, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000.

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Imam Jalaluddin al-Mahally as-Syuyuti, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru, 1990.

Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001.



[1] Drs. Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 1

[2] Drs. H. Abuddin Nata, MA., Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 131

[3] Sugarda Poerbawakatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976, hlm. 214, Sebagaimana dikutip oleh Drs. Zuhairini, dkk., op.cit., hlm. 120

[4] Drs. Abuddin Nata, MA., op.cit., hlm. 131

[5] Ibid., hlm. 132

[6] Ibid., hlm. 134

[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an), vol.3, Jakarta: Lentera Hati, 2000, hlm. 143-144

[8] Ibid., hlm. 148

[9] Drs. H. Abudin Nata, op.cit., hlm. 134-135

[10] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi (26), Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 266-271

[11] Prof. Drs. Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Grafindo Perkasa, 1996, hlm. 16-17

[12] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi (2), Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 38-39

[13] Ibid., (7), hlm. 208-209

[14] Ibid., (23), hlm. 117-118

[15] T.M. Hasbi Assiddieqi, Tafsir an-Nur, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hlm. 4194

[16] Drs. H. Abudin Nata, MA., op.cit., hlm. 138-139

[17] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 485

[18] Imam Jalaluddin al-Mahally as-Syuyuti, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru, 1990, hlm. 278

[19] Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit., hlm. 131

[20] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, op.cit., hlm. 291

[21] Drs. H. Abudin Nata, MA., op.cit., hlm. 141
Posted by Ibnu at 06:50 0 comments 
Labels: PAI, Pendidikan 
EVALUASI PENDIDIKAN


I. Pendahuluan

Menurut Islam, pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya baik pria maupun wanita yang berlangsung seumur hidup - semenjak dari buaran hingga ajal datang (al-Hadits) – life is education.[1]

Dalam proses pendidikan inilah evaluasi memiliki kedudukan yang amat strategis, karena hasil dari kegiatan evaluasi dapat digunakan sebagai input untuk perbaikan kegiatan pendidikan. Untuk mengetahui lebih jelas tentang evaluasi pendidikan, pemakalah akan menguraikan pada bab selanjutnya.


II. Pembahasan

A. Pengertian Evaluasi Pendidikan

Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti tindakan atau proses untuk menemukan nilai sesuatu atau dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang ada hubungannya dengan. Dalam bahasa Arab evaluasi dikenal dengan istilah “imtihan” yang berarti ujian. Dan dikenal dengan istilah khataman sebagai cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan.[2]

Menurut Soegarda Poerbawakatja dalam “Ensiklopedi Pendidikan” menguraikan pengertian pendidikan yang lebih luas, sebagai “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan serta ketrampilannya (orang menamakan ini juga “mengalihkan” kebudayaan) kepada generasi muda, sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah”. Dapat pula dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan pengaruh kedewasaan si anak yang selalu diartikan mampu memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatan.[3]

Jika kata evaluasi dihubungkan dengan kata pendidikan, maka dapat diartikan sebagai proses membandingkan situasi yang ada dengan kriteria tertentu terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan, untuk itu evaluasi pendidikan sebenarnya tidak hanya menilai tentang hasil belajar siswa tersebut, seperti evaluasi terhadap guru, kurikulum, metode, sarana prasarana, lingkungan dan sebagainya.[4]

Selain istilah evaluasi, terdapat pula istilah lain yang hampir berdekatan, yaitu pengukuran dan penilaian. Sementara orang lebih cenderung mengartikan ketiga kata tersebut sebagai suatu pengertian yang sama, sehingga dalam memaknainya tergantung dari kata mana yang siap diucapkan.[5]

B. Kedudukan Evaluasi Pendidikan

Ajaran Islam menaruh perhatian yang besar terhadap evaluasi pendidikan. Oleh karena itu, jika evaluasi dihubungkan dengan kegiatan pendidikan memiliki kedudukan yang amat strategis, maka hasilnya dapat digunakan sebagai input untuk melakukan perbaikan kegiatan dalam bidang pendidikan.

Dalam berbagai firman Allah SWT memberitahukan kepada kita, bahwa pekerjaan evaluasi terhadap manusia didik adalah merupakan suatu tugas penting dalam rangkaian proses pendidikan yang telah dilaksanakan oleh pendidikan.[6] Hal ini, misalnya dapat dipahami dari ayat yang berbunyi sebagai berikut:

وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَ ئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ {31} قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ {32}

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (al-Baqarah : 31-32)

Dia, yakni Allah mengajarkan Adam nama-nama seluruhnya, yakni memberinya benda-benda dan mengajarkan fungsi benda-benda.

Setelah pengajaran Allah dicerna oleh Adam as sebagaimana dipahami dari kata kemudian, Allah memaparkan benda-benda itu kepada malaikat lalu berfirman “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu, jika kamu orang-orang yang benar dalam dugaan kau bahwa kalian lebih wajar menjadi khalifah”.

Para malaikat yang ditanya itu secara tutur menjawab sambil mensucikan Allah, tidak ada pengetahuan bagi kami selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang maha mengetahui lagi maha bijaksana. Maksudnya bukan karena Engkau tidak tahu, tetapi karena ada hikmah diantara itu.[7]

قَالَ يَا آدَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّا أَنبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ {33}

Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (al-Baqarah : 33)

Untuk membuktikan kemampuan khalifah kepada malaikat, Allah berfirman : "Hai Adam! beritahukanlah kepada mereka nama-namanya yakni benda itu". Perhatikanlah! Adam diperintahkan untuk “memberitahukan” yakni menyampaikan kepada malaikat, bukan “mengajar” mereka, pengajaran mengharuskan agar bahan pengajarannya dimengerti oleh yang diajarnya sehingga perlu mengulang-ulangi pelajaran hingga benar-benar dimengerti, berbeda dengan penyampaian atau berita yang tidak mengharuskan pengulangan dan berita harus di mengerti.[8]

Dari ayat tersebut ada empat hal yang dapat diketahui. Pertama, Allah SWT dalam ayat tersebut bertindak sebagai guru memberikan pengajaran kepada Nabi Adam as; kedua, para malaikat tidak memperoleh pengajaran sebagaimana yang telah diterima Nabi Adam. Ketiga, Allah SWT memerintah kepada Nabi Adam agar mendemonstrasikan ajaran yang diterima dihadapan para malaikat. Keempat, materi evaluasi atau yang diujikan haruslah yang pernah diajarkan.[9]

Selain Allah bertindak memberikan pengajaran kepada makhluk-Nya atau hamba-Nya dan dapat pula memberikan pengawasan dengan melalui perantara malaikat sebagai pencatat amal perbuatan manusia sebagaimana yang terdapat pada ayat berikut ini:

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ {18}

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas Raqib dan ‘Atid” (QS. Qaaf : 18)

Tiada keluar satu katapun dari mulut manusia kecuali padanya ada seorang malaikat yang menyaksikan, meneliti perbuatan, mencatat apa saja yang memuat pahala atau hukuman bagi manusia. Hikmah dari hal ini ialah bahwa Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia untuk di azab melainkan untuk dididik dan dibimbing. Maka, setiap penderitaan yang dialami oleh manusia adalah untuk meningkatkan jiwanya.[10]

C. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan

Tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan dibagi menjadi 2 macam, yaitu :

1. Tujuan umum

a. Untuk menghimpun bahan-bahan keterangan yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau kemajuan yang dialami oleh para peserta didik, setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu

b. Untuk mengetahui tingkat efektifitas dari metode-metode pengajaran yang telah dipergunakan proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.

2. Tujuan khusus

a. Untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan

b. Untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.[11]

Sebagaimana yang terdapat pada ajaran Islam, tujuan evaluasi dapat dipahami berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an antara lain disebutkan sebagai berikut :

1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problem kehidupan yang dialaminya. Sebagaimana terdapat pada QS. Al-Baqarah : 155

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ {155}

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah : 155)

Maksudnya : iman tidak menjamin untuk mendapatkan rizki yang banyak, kekuasaan dan tidak ada rasa takut tetapi berjalan sesuai ketentuan sunatullah yang berlaku untuk makhluknya. Seseorang yang mempunyai kesempurnaan iman dan dirinya mempunyai pengalaman digembleng dalam penderitaan maka adanya musibah justru akan membersihkan jiwanya.[12]

2. Untuk mengetahui sampai dimana atau sejauhmana hasil pendidikan wahyu yang telah ditetapkan Rasulullah SAW terhadap umatnya.

إِذْ قَالَ مُوسَى ِلأَهْلِهِ إِنِّي آنَسْتُ نَاراً سَآتِيكُم مِّنْهَا بِخَبَرٍ أَوْ آتِيكُم بِشِهَابٍ قَبَسٍ لَّعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ {7}

(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada keluarganya: "Sesungguhnya aku melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu khabar daripadanya, atau aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang." (QS. An-Naml : 7)

Maksudnya : seseorang akan merasa gembira dengan melihat api dari kejauhan ketika tersesat di malam gelap gulita, karena berharap dengan api itu dia tidak akan kebingungan, merasa aman di jalan dan dapat memanfaatkannya untuk berdiang, karena itulah Musa kembali dari tempat api yang membawa berita penting dan cahaya yang mulia.[13]

3. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat hidup keislaman atau keimanan manusia sehingga diketahui manusia yang paling mulia disisi Allah.

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ {103} وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ {104} قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ {105} إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءِ الْمُبِينُ {106} وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ {107}

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. Ash-Shaffat : 103-107)

Maksudnya : kerelaan Nabi Ibrahim dengan menyembelih anaknya demi keputusan Allah dengan tunduk dan patuh yang nyata keikhlasannya maka Allah pasti akan memberi balasan bagi setiap orang yang berbuat baik sesuai yang patut dia terima dan setimpal dengan yang dia peroleh.[14]

Fungsi evaluasi 

1. Penilaian berfungsi selektif

Dengan cara mengadakan penilaian guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi atau penilaian terhadap siswanya.

2. Penilaian berfungsi diagnostik

Dengan mengadakan penilaian, sebenarnya guru mengadakan diagnostik kepada siswa tentang kebaikan dan kelemahannya, dengan diketahui sebab-sebab kelemahan ini, akan mudah di cari cara untuk mengatasinya.

3. Penilaian berfungsi sebagai penempatan.[15]

D. Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan dalam al-Qur’an

Evaluasi dapat terlaksana dengan baik apabila pelaksanaannya senantiasa berpegang pada tiga prinsip berikut ini.

1. Prinsip keseluruhan (al kamal : الكمال / al tamam : التمم)

Penilaian harus mengumpulkan data mengenai seluruh aspek kepribadian. Meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik

a. Aspek kognitif. Cara berfikir seseorang dalam setiap perbuatan

b. Aspek afektif. Cara bersikap seseorang dalam perbuatan

إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ {3}

“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al-‘Ashr:3).[16]

c. Aspek psikomotorik

كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ {3}

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.[17]

2. Prinsip kesinambungan (istimrar : استمرار)

Penilaian diusahakan secara kesinambungan / kontinuitas atau terus menerus.

3. Prinsip obyektivitas (maudluiyyah : موضوعية)

Penilaian diusahakan subjektivitas atau jujur, mengatakan sesuatu sesuai dengan apa adanya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ {119}

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (QS. At-Taubah:119).[18]


E. Prosedur / Teknik Evaluasi Pendidikan

Teknik evaluasi dalam pendidikan dapat dibagi beberapa langkah diantaranya :

1) Perencanaan

Dapat dilakukan dengan merumuskan tujuan evaluasi dalam suatu program belajar mengajar didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai.

2) Pengumpulan data

Dengan cara menetapkan aspek-aspek yang harus dinilai, artinya untuk memperoleh bahan informasi yang cukup tentang anak didik dengan diadakan evaluasi yang dapat ditempuh dengan langkah yaitu: pelaksanaan evaluasi, pemeriksaan hasil-hasil evaluasi, dan pemberian kode atau skor.

3) Verifikasi data

Dengan menentukan metode evaluasi yang akan digunakan aspek yang akan dinilai. Misalnya : untuk menilai sikap dipergunakan checklist. 

4) Analisis data

Dengan cara memilih atau menyusun alat-alat evaluasi yang akan dipergunakan berupa tes maupun bukan tes (non tes).

5) Penafsiran data

Dengan menentukan kriteria yang dipergunakan untuk menentukan frekuensi evaluasi dengan menyusun bahan pelajaran.


III. Kesimpulan

Suatu cobaan dan ujian dari Allah itu semua semata-mata karena Allah sangat sayang terhadap hambanya, walaupun hamba tersebut kadang melalaikan apa yang diperintahkan Allah, ataupun juga apa yang dilarangkan Allah. Bahkan hamba tersebut sering kali tidak melakukan hak-hak yang mana itu sangat disenangi Allah.

Maka dalam evaluasi pendidikan ini semua telah dilakukan hamba-Nya bermanfaat apa tidak, mereka menggunakan apa yang telah diberi oleh Allah dengan sebaik-baiknya apa tidak dan yang lebih penting lagi apa yang berhubungan dengan pendidikan dimana saja tidak saja di sekolah itu bermanfaat bagi dirinya dan untuk masa depannya.

Maka dari itu evaluasi pendidikan merupakan solusi terpenting dalam hidup supaya setiap apa yang telah dilakukan ada suatu tujuan yang menjamin adanya suatu pokok permasalahan, karena pendidikan merupakan ajaran hidup dan pengalaman bagi setiap manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Drs. Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Drs. H. Abuddin Nata, MA., Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Sugarda Poerbawakatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an), vol.3, Jakarta: Lentera Hati, 2000.

Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi (26), Semarang: CV. Toha Putra, 1989.

Prof. Drs. Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Grafindo Perkasa, 1996.

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Imam Jalaluddin al-Mahally as-Syuyuti, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru, 1990.

Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001.



[1] Drs. Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 1

[2] Drs. H. Abuddin Nata, MA., Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 131

[3] Sugarda Poerbawakatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976, hlm. 214, Sebagaimana dikutip oleh Drs. Zuhairini, dkk., op.cit., hlm. 120

[4] Drs. Abuddin Nata, MA., op.cit., hlm. 131

[5] Ibid., hlm. 132

[6] Ibid., hlm. 134

[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an), vol.3, Jakarta: Lentera Hati, 2000, hlm. 143-144

[8] Ibid., hlm. 148

[9] Drs. H. Abudin Nata, op.cit., hlm. 134-135

[10] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi (26), Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 266-271

[11] Prof. Drs. Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Grafindo Perkasa, 1996, hlm. 16-17

[12] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi (2), Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 38-39

[13] Ibid., (7), hlm. 208-209

[14] Ibid., (23), hlm. 117-118

[15] Drs. H. Abudin Nata, MA., op.cit., hlm. 138-139

[16] Imam Jalaluddin al-Mahally as-Syuyuti, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru, 1990, hlm. 278

[17] Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit., hlm. 131

[18] Drs. H. Abudin Nata, MA., op.cit., hlm. 141
Posted by Ibnu at 06:41 0 comments 
Labels: PAI, Pendidikan 
BIOLOGY AND MEDICINE


I. Introduce

The program falls into propulsive fields of molecular endocrinology and molecular radiobiology. The studies explain insufficiently known effects of steroid hormones, ionizing and non-ionizing irradiation, and other stressor factors on the structural and functional integrity of normal and malignantly transformed cells. Mentioned effects are studied on the level of cell signals, as well as, on the structural and functional changes of biomolecules.


II. Description 

The immobilization of cell membranes on a solid support has been studied. It has been determined that the membrane enzymes retain their unchanged activity while becoming sensitive to the inhibitory effects of metals. Enzymes immobilized in this way may be applied as bioindicators for the presence of harmful agents.

Research has been continued on the molecular mechanisms of cellular signal transduction in the brain and liver during ageing. Age related changes have been detransduction in the brain and liver ageing. Age related changes have been detected in GR and AP-1-mediated transcriptional activity as well the weakening of the regulatory mechanisms at the level of hormone action.

Molecular mechanisms of apoptotic under the effects of different irradiation sources (gamma, protons) have been studied. With the aim of determining the most efficient therapeutic approach for the elimination melanoma cells, beside glucocorticoid hormones, various antiproliferative agents were studied and the effect of different ionizing radiations have been monitored.

The distribution of trace elements in various mammalian tissues have been studied after exposure to gamma rays. Irradiation resulted in differential tissue distribution of magnesium. The role of selenium as an antioxidative agent has been studied in plants animals and humans.

Research on the project BOI-1953 was carried was out in three areas related to the detrimental effects of environment factor. 

Example : 1. Physical

2. Chomical agents

and internal factor

1. Neuron

2. Endocrine stress

On animal and human systems

1) The first area of research encompassed the effects of ionizing radiation on human cancer cell lines in culture (uterus, prostate) human blood and tissue biopsy samples from cancer patients buried cancer, breast cancer, and animal (rat) model system. The major aim in this area was to define pertinent cellular biomakers (xtotoxicity, cell death) and molecular biomakers (total antioxidant enzyme status, TAS) that would help in clinical oncology concerning better individual adjustment in diagnostic, preventive and treatment protocols.

2) The second area or research is dedicated to neuro-endocrine stress which is studied on animal (rat) model.

a. The Effects of physical

1. Cold

2. Physical effort 

b. Emotional (immobilization)

c. Social (isolation, crowding) 

Stress are followed at the level of sympathoddrenal system (SAS) and hypothaiomo - hypophysis - adrenal (HPA) axis, with the special emphases on feed back regulatory, mechanisms in acute stress, and its deregulation in chronic, or combined stress. The goal of the study is to expand the current catecholamine assay (CA) used for diagnostics in cardiology, to catecholamine – steroid – poptide hormone – assay (CSPA) that could be used for individual diagnostic and treatment protocols in stress related neuro psychiatric diseases (anxiety, depression).

3) The third area of research is dedicated to preservation of natural food quality ingradients, such as antioxidants. The antioxidant characteristics are determined in full milk, industrially processed milik, and baby food, and also in human milk, and colostrums. The aim the research is to suggest the best processing procedures that would preserve the antioxidants in food. Such food is considered to be the best preventive and profilactic agent against cardiovascular, and hormonal disorders, as well as against development of neoplasma.


III. Conclusion 

We have studied the effect of total body x-irradiation and partial hepatectomy on the acute phase protein gene expression in rat liver. Changes in liver mRNA concentration for positive acute-phase reactions including cysteine protease inhibitor, a 1-acid glycoprotein, fibrinogen and haptoglobin, and albumin as anegative reactant were nonitored by Northern blot and slot-blot hybridizations.
Posted by Ibnu at 06:33 0 comments 
Labels: Pendidikan 
BIOLOGI DAN PERKEMBANGANNYA, BAIK DITINJAU DARI ILMU PENGETAHUAN MODERN MAUPUN ISLAM
1. Asal Mula Kehidupan
Manusia gemar mencari asal mula atau permulaan sesuatu. Bagi para ahli biologi asal mula kehidupanlah yang menjadi objeknya, sehingga pernyataan “apakah hidup” dan “dari manakah asalnya kehidupan” merupakan pernyataan yang selalu ada dari abad ke abad.
Penemuan dan catatan tentang fosil tidak dapat memberi petunjuk tentang asal mula kehidupan, karena fosil-fosil tertua yang pernah ditemukan adalah organisme-organisme yang rumit. Jadi para ahli biologi terpaksa memilih lagi bermacam-macam petunjuk yang tidak langsung, kemudian berdasarkan anggapan-anggapan disusun pemikiran mengenai asal mula kehidupan.
a. Anggapan yang kuno di dalam biologi dikemukakan oleh Aristoteles dengan teorinya Abiogenesis atau Generatio Spontonea yang menerangkan bahwa makhluk hidup dapat muncul atau terjadi begitu saja dari benda mati atau secara spontan.
b. Muncullah teori baru pada anggapan modern, yaitu teori yang dikenal dengan nama : Omnevivum ex ovo dan omne ovum ex vivo, artinya bahwa makhluk hidup itu berasal dari telur dan semua telur berasal dari makhluk hidup.
c. Harold Urey ahli kimia mengemukakan teori Urey. Ia berpendapat bahwa suatu saat atmosfer bumi kaya akan molekul-molekul CH4 (metana), NH3 (amoniak), H2 dalam bentuk gas karena pengaruh aliran listrik halilintar dari radiasi-radiasi kosmos.
d. Para ahli juga banyak mempelajari tentang lapisan bumi serta batu-batunya untuk mengetahui bagaimana dan kapan timbulnya makhluk hidup yang pertama-tama di bumi ini. Kira-kira 500 juta tahun yang lalu (periode kombium) fosil banyak didapatkan dalam batu endapan, tetapi endapan yang lebih tua dari periode kombium mengandung sedikit sekali tanda-tanda kehidupan.
2. Sejarah Perkembangan Makhluk Hidup
Menurut suatu teori, organisme sekarang yang beraneka ragam macamnya adalah hasil dari proses evolusi kehidupan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana mekanisme dasar sehingga organisme bersel tunggal tersebut sekarang berkembang menjadi organisme bersel banyak. Salah satu dari dugaan ini adalah demikian; Biosfer : Suatu dunia kehidupan di bumi kita ini komponennya menjadi suatu sub sistem. Maka sebagai suatu sub sistem organisme itu dibentuk oleh materi dan energi yang tersedia dalam biosfer pula. Karena dalam biosfer berlaku hukum termodinamika I dan II, maka organisme itu akan mengalami perlakuan hukum tersebut.
Hukum Termodinamika I :
Di dalam biosfer tak ada energi yang hilang, jumlah energi itu tetap yang berubah hanya bentuknya.
Hukum Termodinamika II :
Bila suatu sistem dibiarkan berdiri sendiri, maka sistem tersebut cenderung untuk mengalami penguraian ke arah yang paling tidak teratur.
3. Perbedaan Makhluk Hidup dan Benda Mati
a. Bentuk dan ukuran
Makhluk hidup mempunyai bentuk dan ukuran tertentu, sedangkan benda mati tidak.
b. Komposisi kimia
Makhluk hidup mempunyai komposisi kimia tertentu. Benda mati komposisi kimianya tidak tertentu.
c. Organisasi
Pada makhluk hidup terbentuk dari sel-sel. Pada benda mati misalnya batu, susunan sedemikian rupa adalah hasil dari unsur pokoknya.
d. Metabolisme
Pada makhluk hidup terjadi pengambilan dan penggunaan makanan, respirasi atau pernapasan. Sekresi dan ekskresi. Benda mati tidak mengalami hal-hal tersebut.
e. Iritabilitas
Makhluk hidup dapat memberikan reaksi terhadap perubahan sekitarnya, besarnya reaksi tak seimbang besarnya aksi. Pada benda mati reaksinya seimbang dengan aksi.
f. Reproduksi
Pada makhluk hidup terdapat kemampuan untuk membuat makhluk itu menjadi banyak, sedangkan pada benda mati tidak.
g. Tumbuhan dan mempunyai daur hidup
Setiap makhluk hidup mengalami proses pertumbuhan dan mempunyai daur hidup. Benda mati membesar karena pengaruh luar.
 Ciri-ciri makhluk hidup
- Dapat bergerak
- Mempunyai fungsi metabolisme
- Mempunyai fungsi mempertahankan jenisnya / hidupnya
- Dapat mengadakan jawaban terhadap suatu rangsangan.
 Ciri-ciri benda mati
- Tidak dapat bergerak dan tidak dapat tumbuh
- Tidak mempunyai fungsi metabolisme
- Tidak mempunyai fungsi mempertahankan dirinya
- Tidak ada jawaban / diam saja terhadap rangsangan.
4. Perkembangan dan Variabilitas Makhluk Hidup
a. Macam-macam pembelahan sel
1) Tipe mitosis
2) Tipe amitosis
b. Evolusi
1) Sejarah kehidupan di bumi berdasarkan penemuan fosil
- Zaman Azoikum
- Zaman Archozaikum
- Zaman Proterozoikum
- Zaman Paleozoikum
- Zaman Mezozoikum
- Zaman Kenozonikum
2) Teori evolusi
a) Teori Lamarck
Menurutnya evolusi dikarenakan adanya adaptasi. Sifat-sifat yang baru di dapat dari pengaruh lingkungan kemudian diteruskan pada keturunannya.
b) Teori Darwin
Darwin mengemukakan dua teori pokok, yaitu :
i. Spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies yang hidup di masa lampau
ii. Evolusi terjadi melalui seleksi alam
c) Teori Darwin-Weisman
Weisman melengkapi teori Darwin dengan pernyataan sebagai berikut: Evolusi merupakan masalah genetika, yaitu menyangkut masalah bagaimana diwariskannya gen-gen melalui sel-sel kelamin. Sel-sel tubuh tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi evolusi adalah gejala seleksi alam terhadap faktor genotikan.
d) Teori De Vries
Teorinya adalah bahwa perubahan-perubahan pada evolusi itu disebabkan oleh adanya mutasi dari gen.
5. Keanekaragaman Makhluk Hidup
a. Sistem Klasifikasi
Para ahli pengetahuan dalam mengklasifikasikan organisme hidup dengan cara memberi nama 2 kata pada setiap spesies (hewan atau tanaman). Kata pertama adalah nama Genus dimana huruf pertamanya harus ditulis huruf besar dan yang kedua adalah petunjuk spesies.
Contoh : Homo Sapiens
Genus Spesies
b. Dunia tanaman dan dunia hewan
Semua organisme hidup dibagi dalam 2 bagian besar, yaitu :
1) Dunia tanaman
2) Dunia hewan
6. Tinjauan dari Segi Islam
Kalau kita melihat ke masa depan, kita akan melihat bahwa biologi akan mencapai kemajuan politis, akan semakin banyak atribut manusia yang bergantung pada penjelasan biologis. Tanggapan intelektual muslim terhadap pandangan dunia biologis masa kini, karenanya merupakan kebutuhan yang paling mendesak di masa mendatang. Tidak lagi cukup bagi kita untuk membatasi diri pada berbagai pendapat yuridis mengenai masalah-masalah tertentu saja. Soal ini harus dipertimbangkan dalam konteks ideologis mereka. Individu-individu muslim harus membebaskan diri mereka dari penjara biologis yang didefinisikan hanya melalui teknologi Barat. Dengan demikian, jika telah sampai pada biologi manusia, etika dan tata moral Islam, sebagaimana yang dikemukakan dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, harus dapat menggantikan teknologi yang membatasi itu. 
Posted by Ibnu at 06:31 0 comments 
Labels: Pendidikan 
AKTIVITAS BELAJAR PAI DAN KETAATAN BERIBADAH


I. PENDAHULUAN

Belajar adalah suatu usaha untuk mencari ilmu pengetahuan dengan cara mempelajari lewat buku-buku, menerima pelajaran di sekolah baik formal maupun non formal. Jadi dalam belajar ada suatu usaha untuk memperoleh kepandaian dan pemahaman, sehingga ada perubahan yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang hal itu disebabkan oleh adanya pengalaman.

Aktivitas belajar merupakan sesuatu yang harus terjadi pada manusia, baik pada masa sekarang maupun masa lampau. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar sangat penting bagi manusia. Dan manusia tidak akan mempunyai pengetahuan dan keahlian jika mereka tidak pernah melakukan aktivitas belajar.

Dalam agama Islam, aktivitas belajar merupakan suatu yang wajib bagi insan, baik laki-laki maupun perempuan. Mengingat betapa pentingnya aktivitas belajar ini, sehingga wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah Swt, kepada rasulnya adalah berkenaan dengan masalah aktivitas belajar, nabi pun baru melakukan aktivitas belajar dengan bimbingan malaikat Jibril yang berupa surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi :



“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al-‘Alaq : 1-5).[1]

Dalam pandangan Islam, pendidikan bertujuan untuk mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah anak didik melalui ajaran Islam menuju ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini berarti pendidikan Islam bertujuan menyiapkan anak didik agar menjadi generasi yang memiliki kepribadian dengan pola iman dan taqwa kepada Allah SWT.

Pendidikan agama hendaknya ditanamkan sejak kecil, sebab pendidikan pada masa anak-anak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya. Oleh sebab itu pendidikan agama Islam harus ditanamkan dalam pribadi anak sejak ia lahir bahkan sejak dalam kandungan dan kemudian dilanjutkan dengan pembinaan pendidikan ini di sekolah.

Pendidikan Islam berorientasi pada pembentukan pribadi yang bermoral dan berakhlakul karimah, tidak hanya memberikan pengetahuan semata, namun juga berupa merealisasikan dalam bentuk kegiatan keagamaan di sekolah. Seperti halnya aktivitas belajar PAI yang diterapkan di SMA Unggulan Pondok Pesantren Nurul Islami. Aktivitas belajar PAI tersebut selain menambah wawasan dan pengetahuan agama, juga mendidik siswa untuk mengamalkan ajaran agamanya. Dengan demikian keberhasilan pengajaran pendidikan agama Islam di sekolah tidak lepas dari berbagai aktivitas belajar agama yang dilakukan siswa di luar sekolah.

Segala persoalan dan problema yang terjadi pada remaja, sebenarnya berkaitan dengan usia yang mereka lalui, dan tidak dapat dilepaskan dari implikasi lingkungan dimana mereka hidup. Dalam hal ini, suatu faktor penting yang memegang peranan menentukan dalam kehidupan remaja adalah agama.[2]

Remaja adalah usia yang sangat strategis untuk perkembangan ke masa depan, khususnya dalam hal pendidikan agama. Sehingga penulis berusaha mengkaji aktivitas belajar PAI yang diterapkan di SMA Unggulan Nurul Islami yang berusaha menggabungkan antara pendidikan formal dengan pendidikan non formal, yang mana dengan tujuan agar anak didik dapat menjadi taat kepada sang pencipta.


II. PERMASALAHAN

Untuk mengetahui secara mendalam tentang “Aktivitas Belajar PAI dan Ketaatan Beribadah”, maka perlu telaah lebih lanjut tentang :

1. Bagaimana aktivitas belajar PAI di SMA Unggulan Pondok Pesantren Nurul Islami Wonolopo – Mijen?

2. Bagaimana ketaatan beribadah anak didik?

3. Bagaimana pengaruh aktivitas belajar PAI terhadap ketaatan beribadah anak didik di SMA Unggulan Pondok Pesantren Nurul Islami Wonolopo Mijen?


III. PEMBAHASAN

A. Aktivitas Belajar PAI

1. Pengertian Aktivitas Belajar PAI

Kata aktivitas berasal dari bahasa Inggris “activity” yang artinya adalah kegiatan.[3] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aktivitas dapat diartikan sebagai kegiatan atau kesibukan.[4]

Learning is process by which an activity originates or is changed through reacting to an encountered situation, provided that characteristics of the change in activity can not be explained on the basis of native respon tendencies, maturation, or temporary states of the organism (e.g. fatigue, drugs, etc.,).[5]

Belajar adalah proses berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi yang disebabkan oleh pengalamannya secara berulang-ulang dalam situasi di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya : kelelahan, pengaruh obat, dan lain sebagainya).

Secara umum, belajar dapat diartikan sebagai proses transfer yang ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan, tingkah laku dan kemampuan seseorang yang relatif tetap sebagai hasil dari latihan dan pengalaman yang terjadi melalui aktivitas mental yang bersifat aktif dan berorientasi pada tujuan.

Dari pengertian tersebut dapat diambil tiga pemahaman umum, pertama, belajar ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan, sikap, tingkah laku dan ketrampilan yang relatif tetap dalam diri seseorang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Kedua, belajar terjadi melalui latihan dan pengalaman yang bersifat komulatif, artinya, hasil belajar tidak diperoleh secara tiba-tiba, akan tetapi berlangsung melalui proses tahap demi tahap. Kemampuan (performance) yang telah dikuasai sebagai landasan untuk tahapan proses belajar yang lebih tinggi atau baik.

Ketiga, belajar merupakan proses aktif-konstruktif yang terjadi melalui mental proses, yaitu serangkaian proses kognitif seperti persepsi, perhatian, mengingat, memecahkan masalah, dan lain-lain.[6]

Pengertian pendidikan agama Islam sendiri adalah upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang.[7] Dalam pengertian ini dapat berwujud dengan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuh kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam ketrampilan hidupnya sehari-hari.

Menurut Zakiyah Daradjat pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh serta menjadikan ajaran agama itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.[8] 

Jadi aktivitas belajar PAI adalah proses kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan perubahan tingkah laku yang dilakukan oleh seseorang (guru) untuk membantu anak didik dalam menanamkan dan menumbuhkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidup, yang diwujudkan dalam sikap dan dikembangkan dalam ketrampilan hidupnya sehari-hari.

2. Jenis-jenis Aktivitas Belajar

Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian, di sekolah merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Dalam belajar, seseorang tidak akan dapat menghindarkan diri dari suatu situasi. Situasi akan menentukan aktivitas apa yang akan dilakukan dalam rangka belajar. Bahkan situasi itulah yang mempengaruhi dan menentukan aktivitas belajar apa yang akan dilakukan.

Beberapa aktivitas belajar dalam pembahasan ini adalah :

a. Mendengarkan

b. Memandang

c. Menulis atau mencatat

d. Membaca

e. Mengingat

f. Berfikir

g. Latihan atau praktek.[9]

Belajar yang berhasil, harus melalui berbagai macam aktivitas, baik aktivitas fisik maupun psikis. Aktivitas fisik ialah peserta didik giat, aktif dengan anggota badan. Membuat sesuatu ataupun bekerja, ia tidak hanya duduk dan mendengarkan, melihat atau hanya pasif. Peserta didik yang memiliki aktivitas psikis (kejiwaan) adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya atau berfungsi dalam pengajaran.[10]

3. Dasar Pelaksanaan PAI

Setiap usaha atau tindakan yang sengaja dilakukan untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai dasar atau landasan yang kuat sebagai suatu pijakan. Adapun dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam dapat ditinjau dari beberapa aspek:

a. Dasar Yuridis atau Hukum

Karena Indonesia adalah negara hukum maka seluruh aspek kehidupan termasuk kegiatan pendidikan agama didasarkan pada hukum (perundang-undangan) yang berlaku. Dalam hal ini ada 3 dasar operasional:

1) Dasar Idiil, yaitu dasar falsafah negara pancasila, sila pertama: ketuhanan yang Maha Esa.

2) Dasar struktural atau konstitusional, yaitu UUD 45 dalam BAB XI pasal 29 ayat 1, yang berbunyi:

a) Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa.

b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.[11]

3) Dasar Operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978. Ketetapan MPR No. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap MPR No. II/MPR/1988 dan Tap MPR No. II/MPR/1993 tentang garis-garis besar haluan negara (GBHN) yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimasukkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[12]

b. Dasar Normatif

Dasar normatif yang dipakai adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al maslahah al mursalah, istihsan, qiyas da sebagainya.[13] Banyak ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang secara langsung maupun tidak langsung mewajibkan umat manusia melaksanakan pendidikan, khususnya pendidikan agama. Adapun pelaksanaan pendidikan agama Islam itu ditujukan kepada:[14]

1) Kewajiban orang tua mendidik anaknya

Hadits Nabi Saw :

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم: ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه كماتننتح البهيمة جمعاءهل وتحسنوا فيها من جديماء (متفق عليه). [15]

“Dari Ai Hurairah r. a, Nabi SAW bersabda: “tiada anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (potensi iman dan Islam), maka kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi seperti seekor ternak yang melahirkan anaknya dengan sempurna, apakah engkau dapati kekurangan?” (Muttafaqun ‘Alaih)

2) Kewajiban bagi setiap orang Islam untuk belajar agama.

3) Kewajiban mengajarkan agama kepada orang lain

c. Dasar Psikologis

Psikologis yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya, manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tentram sehingga memerlukan adanya pegangan hidup. Manusia merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya zat yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan. Hal ini terjadi pada masyarakat yang masih primitif maupun modern, mereka akan merasa tenang dan tentram apabila dapat mendekat dan mengabdi pada zat yang Maha kuasa.[16]

d. Dasar Historis

Pendidikan agama Islam tumbuh dan berkembang bersamaan dengan datangnya Islam. Hal ini terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW yang mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat sekitarnya yang dimulai dari keluarga dekat beliau. Pada tahap awal antara dakwah dan pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan karena tugas utama Nabi adalah dakwah (menyeru) manusia agar masuk Islam. Islam harus disampaikan agar dipahami, dihayati sampai diamalkan karena dalam pendidikan Islam juga mencakup area kognitif, afektif dan psikomotorik.[17]

4. Ruang Lingkup PAI

Pendidikan agama Islam mencakup usaha untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara:

a. Hubungan manusia dengan Allah SWT

b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri

c. Hubungan manusia dengan sesama manusia

d. Hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungannya.[18]

Adapun ruang bahan pembelajaran pendidikan agama Islam meliputi lima unsur pokok, yaitu keimanan, Al-Qur’an, akhlak, fiqih dan tarikh.[19]

5. Karakteristik PAI

Setiap pelajaran memiliki karakteristik tertentu yang dapat membedakan dengan pelajaran lain, adapun karakteristik pelajaran pendidikan agama Islam adalah sebagai berikut:

a. Secara umum pendidikan agama Islam merupakan pelajaran yang dikembangkan dari ajaran dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadist. Untuk kepentingan pendidikan, melalui proses ijtihad, para ulama mengembangkan materi pendidikan agama Islam pada tingkat yang lebih rinci. 

b. Prinsip-prinsip dasar pendidikan agama Islam tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah, syari’ah, dan akhlak. Akidah merupakan penjabaran dari konsep iman, syari’ah merupakan penjabaran dari konsep Islam, dan akhlak penjabaran dari konsep ikhsan. Dari ketiga prinsip dasar itulah berkembang berbagai kajian keislaman, termasuk kajian yang terkait dengan ilmu dan teknologi serta seni dan budaya.

c. Pelajaran pendidikan tidak hanya mengantarkan peserta didik untuk menguasai berbagai ajaran Islam, tetapi yang terpenting adalah bagaimana peserta didik dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran pendidikan agama Islam menekankan keutuhan dan keterpaduan antara ranah kognitif, psikomotorik dan afektifnya. Alat atau cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan pendidikan adalah dengan pengajaran.[20]

d. Tujuan diberikannya pelajaran pendidikan agama Islam adalah untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul karimah. Oleh karena itu semua mata pelajaran hendaknya seiring dan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pelajaran pendidikan agama Islam. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang berbunyi: “Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[21]

e. Tujuan akhir dari pelajaran pendidikan agama Islam di SMA adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia. Tujuan inilah yang merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan agama Islam. Mencapai akhlak yang karimah adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Sejalan dengan tujuan akhlak maka setiap pelajaran lain yang diajarkan harusnya mengandung muatan pendidikan akhlak dan setiap guru juga harus memperhatikan tingkah laku peserta didik.[22]

6. Fungsi PAI

Pendidikan agama Islam mempunyai fungsi sebagai Berikut:[23]

a. Pengembanan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam keluarga. Pada dasarnya dan pertama kewajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya. 

b. Penanaman Nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

c. Penyesuaian Mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam. Penyesuaian mental yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.

d. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran dalam kehidupan sehari-hari. 

e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangan menuju manusia Indonesia seutuhnya.

f. Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional.

g. Penyaluran, yaitu menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus dibidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.

Dari kedua pandangan dimensi tersebut intinya adalah sama, yaitu ada lima dimensi yang harus ada pada diri seseorang yang telah beragama.


B. Ketaatan Beribadah

1. Pengertian Ketaatan Beribadah

Tha’at adalah patuh, setia, ataupun tunduk. Taat kepada Allah berarti patuh, tunduk, setia kepada Allah Ta’ala dengan memelihara syariat-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya, meninggalkan segala larangan-Nya dan mencontoh sunnah rasul-Nya.[24]

Dalam arti sempit ibadah adalah menjalankan ajaran agama sesuai dengan agama masing-masing, sedangkan dalam arti luas ibadah berarti berbuat kebaikan terhadap sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta lingkungan alam.[25]

Beribadah berarti melaksanakan semua perintah Tuhan sesuai dengan kemampuan dan meninggalkan seluruh larangan-Nya dengan niat yang ikhlas. Unsur niat atau kesengajaan merupakan salah satu penentu berpahala tidaknya perbuatan dan tingkah laku sehari-hari. Tindakan keagamaan yang tidak disertai dengan niat atau tanpa kesadaran beragama bukanlah ibadah. Sebaliknya tingkah laku sosial dan pekerjaan sehari-hari, apabila disertai niat karena Allah adalah termasuk ibadah.[26]

Dari pengertian diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa ketaatan beribadah adalah penyerahan dengan hati, perkataan dan perbuatan untuk mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya yang dilakukan secara ikhlas untuk mencapai keridloan Allah SWT, dan mengharap pahala-Nya di akhirat dan dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan manusia.

2. Macam-macam Ibadah

Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Ibadah khassah (khusus) atau ibadah mahdhah (ibadah yang ketentuannya pasti), yaitu ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh nash dan merupakan sari ibadah kepada Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.

b. Ibadah ‘ammah (umum), yaitu semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT, seperti minum, makan dan bekerja mencari nafkah. Hal ini berarti niat merupakan kriteria sahnya ibadah ‘ammah.[27]

3. Ciri-ciri Orang yang Taat Beribadah

Orang yang memahami arti hakekat penciptaan manusia, maka dapat memiliki ketaatannya dalam beribadah. Orang yang taat beribadah dapat dilihat dari segi bagaimana ia berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia atau dengan makhluk lainnya.

a. Hubungan manusia dengan Allah SWT

Secara akal maupun wahyu manusia wajib berhubungan dengan Allah (hablum minallah). Berhubungan dalam arti mengabdikan dirinya, hidup dan matinya hanya kepada Allah. Yaitu dengan beribadah seperti menjalankan shalat, puasa dan amalan yang baik lainnya.

b. Hubungan manusia dengan manusia

Orang yang memiliki ketaatan beribadah maka ia akan menjalankan aturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, bagaimana ia berhubungan dengan sesama manusia, sehingga seimbang antara hablum minallah dan hablum minannas.

c. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya

Agar manusia dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya, maka hubungan manusia dengan makhluk lainnya harus didasarkan kepada nilai-nilai yang positif. Tidak merusak lingkungan, tidak membuat kerusakan-kerusakan dan pencemaran yang mengancam kelangsungan hidup manusia.[28]

Oleh karena itu, orang yang memiliki ketaatan beribadah, ia akan berusaha menjaga dan melestarikan lingkungan dan bagaimana memperlakukan hewan sesuai haknya sebagai makhluk ciptaan-Nya dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketaatan Beribadah

Faktor yang dapat mempengaruhi ketaatan beribadah dapat dicapai dari dua faktor, yaitu:

a. Faktor Intern

Yaitu keimanan atau kesadaran yang tinggi akan ibadah, orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten, stabil, mantap, dan penuh tanggung jawab serta dilandasi pandangan yang luas.[29] Hal ini juga dipengaruhi oleh fitrah manusia yang memiliki motif ketuhanan dalam dirinya, yaitu belajar dengan tujuan hanya semata-mata untuk meningkatkan amal ibadah dan kedekatannya dengan Tuhannya, serta menyadari kewajiban sebagai makhluk untuk selalu beribadah.[30] Keimanan dan kesadaran yang tinggi akan pentingnya ibadah, keduanya dipengaruhi oleh pemahaman ilmu agama yang tinggi pula.

b. Faktor Ekstern

1) Lingkungan keluarga

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling pertama dikenal oleh anak dan paling berperan utama dalam membentuk kepribadian dan kebiasaan yang baik. Kebiasaan yang ada pada lingkungan keluarga merupakan pendidikan yang nantinya sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian dan kebiasaan yang baik pada anggota keluarga.[31] Sebagai gambaran langsung, keluarga yang anggota keluarganya selalu membiasakan shalat berjama’ah maka akan mewarnai kebiasaannya baik ketika berada di dalam maupun diluar lingkungan keluarga.

Menurut Ngalim Purwanto, pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya, baik di sekolah maupun dalam masyarakat.[32]

2) Lingkungan pendidikan agama

Lingkungan pendidikan agama baik formal maupun non formal sangat mempengaruhi dalam membentuk corak warna kepribadian dan kebiasaan individu. Seseorang yang tinggal di pondok pesantren, ia akan cenderung melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh santri, ustad atau bahkan sang kyai. Sebagai contoh sekolah atau pondok pesantren yang semua guru (ustad) nya selalu membiasakan untuk shalat berjama’ah maka secara tidak langsung santrinya akan menirunya.

3) Lingkungan masyarakat

Lingkungan masyarakat juga sangat berperan dalam mempengaruhi aktifitas keagamaan. Diaman dari lingkungan ini akan didapat pengalaman, baik dari teman sebaya maupun orang dewasa yang dapat meningkatkan aktivitas keagamaan anak.

4) Media komunikasi yang membawa misi agama

Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku seseorang adalah interaksi di luar kelompok. Yang dimaksud interaksi di luar kelompok ialah interaksi dengan buah kebudayaan manusia yang sampai kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi, buku-buku dan lainnya.[33] Apabila yang disampaikan Pondok pesantren yang ada ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai motivasi tinggi dalam menjalankan perintah-perintah agama, seperti kebiasaan shalat jama’ah maka ketika waktu shalat masjid-masjid di lingkungan tersebut akan penuh jama’ah shalat, kemungkinan besar kebiasaan santri pondok pesantren tersebut tidak akan jauh dari masyarakat yang ada. Melalui alat komunikasi tersebut adalah hal-hal yang berkenaan dengan agama, maka secara otomatis perubahan perilaku yang muncul adalah perubahan perilaku keagamaan, sebagai contoh apabila santri selalu membaca media yaitu kitab-kitab kuning atau buku-buku keagamaan lainnya yang berisi tentang shalat berjama’ah secara otomatis ia akan terdorong melalui pemikirannya untuk berusaha melakukannya.

5) Kewibawaan orang yang mengemukakan sikap dan perilaku

Dalam hal ini mereka yang berotoritas dan berprestasi tinggi dalam masyarakat yaitu para pemimpin baik formal maupun non formal. Dari kewibawaan mereka akan muncul simpati, sugesti, dan imitasi pada seseorang atau masyarakat. Dalam pesantren para pengasuh dan kyai-lah menduduki posisi ini. Oleh karena itu nasehat atau petuah yang disampaikannya akan diterima oleh masyarakat dengan cepat dan penuh keyakinan.[34]


C. Pengaruh Aktivitas Belajar terhadap Ketaatan Beribadah

Belajar bukanlah berproses dari kehampaan. Tidak pula pernah sepi dari berbagai aktivitas, tidak pernah terlihat orang yang belajar tanpa melibatkan aktivitas raganya. Apalagi bila aktivitas belajar itu berhubungan dengan masalah membaca, memandang, mengingat, berfikir, latihan atau praktek.

Dalam belajar, seseorang tidak akan dapat menghindarkan diri dari situasi. Situasi akan menentukan aktivitas apa yang akan dilakukan dalam rangka belajar. Bahkan situasi itulah yang mempengaruhi dan menentukan aktivitas belajar apa yang akan dilakukan.

Pendidikan agama Islam di sekolah atau madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan dan ketaqwaan.

Untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta berakhlak mulia, ternyata tidak bisa hanya mengandalkan pada mata pelajaran pendidikan agama yang hanya dua jam pelajaran atau dua SKS, tetapi perlu adanya pelaksanaan aktivitas keagamaan secara terus-menerus dan berkelanjutan di luar jam pelajaran pendidikan agama, baik di dalam kelas atau di luar sekolah bahkan diperlukan pula kerjasama yang harmonis interaktif diantara warga sekolah dan para tenaga kependidikan yang ada di dalamnya.[35] 

Aktivitas belajar PAI di lembaga pendidikan manapun akan memberi dampak bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak, sebab pendidikan agama pada hakekatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.

Ibadah merupakan perwujudan efektif bagi pengembangan akidah, Islam serta kepercayaan yang sudah dibina. Dalam aktivitas PAI baik formal maupun non formal, seperti juga bahwa ibadah merupakan perpanjangan iman dan sekaligus sebagai makanan bagi jiwa manusia serta pertumbuhan bagi akarnya. Karena iman memiliki sifat bertambah dan berkurang, maka ia bertambah kuat serta kokoh dengan ketaatan beribadahnya.[36]

Aktivitas belajar PAI yang meliputi mendengarkan, memandang, membaca, menulis, mengingat, berfikir serta praktek dapat memperkuat pemahaman agama yang sudah dimiliki oleh anak didik serta dapat bertingkah laku dengan baik terhadap sesama, sehingga mampu menjadi anak yang taat dalam menjalankan ibadah kepada Allah Swt.

Oleh karena itu aktivitas belajar pendidikan agama Islam yang diterapkan di SMA Nurul Islami Wonolopo-Mijen baik yang berada di pendidikan formal maupun aktivitas yang berada di pondok pesantren dapat mempengaruhi kejiwaan agama anak didik sehingga menimbulkan ketaatan dalam beribadahnya.


IV. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Aktivitas belajar PAI adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar PAI dengan tujuan untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul karimah.

2. Ketaatan beribadah adalah cerminan seorang hamba yang mampu menggunakan akal fikirannya untuk berfikir tentang hakekat dia diciptakan, sehingga mampu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, yang dapat diaplikasikan dengan bagaimana ia berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia dan dengan makhluk lain.

3. Aktivitas belajar PAI adalah salah satu kegiatan yang dapat menggerakkan dan menambah pengetahuan serta pemahaman agama, sehingga mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan berfikir dan jiwa menjadi tenang dengan apa yang dia lakukan, sehingga dia mampu melaksanakan segala ibadah yang diperintahkan Allah Swt dan disunnahkan oleh Rasulullah.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Ahmadi, Abdul Aziz, Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila, Bandung: Sinar Baru Algensido, 1995, Cet. 3.

Arifin, M., Psikologi Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.

Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

_______, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Cet. 17.

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : Diponegoro, 2005, cet. 5.

Departemen Agama RI, Pedoman Pendidikan Agama Islam, Jakarta: 2004.

Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2004 Pedoman Khusus Penyusunan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, 2003.

Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, cet.I.

Echols, John M., dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1990, cet. XIX.

Hartanto, Jhon Surjadi, Undang-Undang 1945, PA, GBHN, Warkat, Surabaya: Indah, 1994.

Hilgard, Ernest R., dan Gordon H. Bower, Theory of Learning, New York : Meredith Publishing Company, 1966.

Majid, Abdul, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Muslim, Imam Abi Khusain, Shahih Muslim, Beirut: Ikhya’u Taroti Al ‘Arobi, t.th. 

Pasaribu, I. L., dan B. Simanjuntak, Proses belajar Mengajar, Bandung: Tarsito, t.th.

Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989.

Ruhani, Ahmad, dan Abu Ahmadi, Pengelolaan Pengajaran, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, cet. I.

Rusyan, A. Tabrani, Pendidikan Budi Pekerit, Jakarta: PT. Cuti Media Cipta Nusantara, t.th.

Shodiq, M., Kamus Istilah Agama, Jakarta: Bina Ciptama, 1990.

Thoha, Chabib, (eds), PBM PAI di Sekolah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, cet.3.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bandung: Fokus Media, 2003.

W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung : PT. Gresco, 1991.

Zaenuri, dkk, Pendidikan Agama Islam SMA, Bandung: Armilo, 1986.

Zuhaili, Muhammad, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, Jakarta: Ba’adillah Press, 1999, cet. 2.


[1] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Diponegoro, 2005), cet. 5, hlm. 597.

[2] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. 17, hlm. 82.

[3] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1990), cet. XIX, hlm. 10.

[4] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), cet.3, hlm. 17.

[5] Ernest R. Hilgard, Gordon H. Bower, Theory of Learning, (New York : Meredith Publishing Company, 1966), hlm. 2.

[6] Abdul Mu’ti, PBM-PAI di Sekolah, Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998), cet.I, hlm. 94-95.

[7] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 7

[8] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 86.

[9] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), cet.I, hlm. 38-45.

[10] Ahmad Ruhani dan Abu Ahmadi, Pengelolaan Pengajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), cet. I, hlm. 6.

[11] Jhon Surjadi Hartanto, Undang-Undang 1945, PA, GBHN, Warkat, (Surabaya: Indah, 1994), hlm. 45

[12] Ibid, hlm. 57

[13] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan…op.cit, hlm. 19

[14] Achmadi, “Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, dalam Chabib Thoha (eds), PBM PAI di Sekolah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 33

[15] Imam Abi Khusain Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Ikhya’u Taroti Al ‘Arobi, tth), hlm. 46 

[16] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm 133

[17] Achmadi, op.cit, hlm. 48

[18] Departemen Agama RI, Pedoman Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: 2004), hlm. 29

[19] Ibid, hlm. 29

[20] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan…op.cit., hlm. 30.

[21] Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, (Bandung: Fokus Media, 2003), hlm.7

[22] Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2004 Pedoman Khusus Penyusunan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, 2003), hlm. 2

[23] Abdul Majid. dan Dian Andayani, op.cit, hlm.134

[24] M. Shodiq, Kamus Istilah Agama,(Jakarta: Bina Ciptama, 1990), hlm. 357.

[25] A. Tabrani Rusyan, Pendidikan Budi Pekerti, (Jakarta: PT. Cuti Media Cipta Nusantara, t.th), hlm. 47

[26] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1995), Cet. 3, hlm. 47

[27] A. Tabrani Rusyan, op.cit., hlm. 142

[28] Zaenuri, dkk, Pendidikan Agama Islam SMA, (Bandung: Armilo, 1986), hlm. 35

[29] H. Abdul Aziz Ahmadi, op.cit, hlm. 54

[30] I. L. Pasaribu dan B. Simanjuntak, Proses belajar Mengajar, (Bandung: Tarsito, t.th), hlm. 23

[31] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 134

[32] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989), hlm. 79

[33] W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung : PT. Gresco, 1991), hlm. 155

[34] H. M. Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 126

[35] Muhaimin, op.cit., hlm.59

[36] Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, (Jakarta: Ba’adillah Press, 1999), cet. 2, hlm. 126
Posted by Ibnu at 06:26 0 comments 
Labels: PAI, Pendidikan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar