Senin, 02 Februari 2009

Pendekatan Ilmiah Dlm Pendidikan

SKALA KECERDASAN EMOSIONAL

Oleh:

Rahmat Aziz, M.Si


Skala ini merupakan alat ukur penelitian yang pernah digunakan penulis ketika menyusun tesis pada Program Magister Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta pada tahun 1999. Jumlah item pada awalnya sebanyak 60 buah tapi setelah dilakukan pengujian validitas ditemukan item valid sebanyak 48 item dengan reliabilitas sebesar @0,8972. Pengujian validitas dilakukan pada 110 siswa Sekolah Menengah Atas Negeri di Yogyakarta.



Istilah Emotional Intelligence yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Kecerdasan Emosional, pertama kali diperkenalkan oleh Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayor dari University of New Hampshire pada tahun 1990, kemudian dipopulerkan oleh seorang penulis kenamaan yang bernama Daniel Goleman dengan sebuah buku Emotional Intelligence.

Pentingnya kecerdasan emosional dalam kehidupan seseorang telah disitir oleh Goleman (1996) yang mengatakan bahwa kecerdasan bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidaklah akan menghasilkan seseorang sukses dalam hidupnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa peranan kecerdasan akademik hanyalah sekitar 20% untuk menopang kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% lainnya ditentukan oleh faktor yang lain, yang diantaranya adalah faktor kecerdasan emosional. Pendapat lain yang senada dengan Goleman, dikemukakan oleh Patton (1998) yang mengatakan bahwa orang yang kecerdasan emosionalnya tinggi cenderung akan mengalami kesuksesan ditempat kerjanya.

Patton (1998) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mencapai suatu tujuan. Gardner (dalam Goleman, 1996), menyebut istilah kecerdasan emosional dengan istilah kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, adapun definisi dari kedua istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain, yang wujudnya berupa pemahaman terhadap apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, dan bagaimana mereka bekerja sama dengan sesamanya. Dalam rumusan yang lain, ia mengatakan bahwa kecerdasan antarpribadi itu mencakup kemampuan untuk membedakan dan menaggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain.

2. Kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan yang bersifat korelatif tetapi terarah kedalam diri sendiri, yang wujudnya berupa kemampuan untuk membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri, serta kemampuan untuk menggunakan model tersebut sebagai alat untk menempuh kehidupan secara efektif.

Senada dengan pendapat diatas, dikemukakan oleh Carkhuf (dalam Martaniah, 1997), yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional melibatkan pada dua faktor, yaitu faktor emotivation yang pada prakteknya melibatkan pada pengembangan misi diluar diri sendiri, dan faktor motivation yang pada prakteknya melibatkan pada diri sendiri. 

Skala ini menggunakan skala Likert yang terdiri atas lima alternatif jawaban, yaitu Sangat Seutuju (SS), Setuju (S), Ragu-ragu (R), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skala ini mengungkap tinggi rendahnya kecerdasan emosional subjek yang mengacu pada aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Goleman (1996) Gardner dan Salovey (Goleman, 1996), yaitu :

1. Kecerdasan Intrapersonal, yang terdiri dari kemampuan untuk sadar terhadap diri sendiri, kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan untuk tetap optimis.

2. Kecerdasan Antarpersonal, yang terdiri dari kemampuan untuk berhubungan atau bersahabat dengan orang lain dan kemampuan untuk berempati dengan orang lain.
Setiap tindakan yang saya lakukan, biasanya saya telah memperhitungkan resiko yang akan dihadapi.
Bila menghadapi masalah, biasanya saya memusatkan perhatian pada apa yang dapat saya perbuat untuk memecahkannya.
Saya telah belajar banyak tentang diri sendiri dengan cara mendengarkan perasaaan batin saya.
Bila mempunyai masalah, saya tahu kemana saya harus pergi dan apa yang harus saya lakukan.
Saya dapat menerima dfan menghibur diri sendiri, bila ada satu keinginan yang tidak tercapai.
Seringkali saya tidak dapat menahan keinginan untuk melanggar norma-norma yang ada di mayarakat.
Walaupun terkadang terasa menjenuhkan, tapi saya bisa menikmati dan bersabar ketika menunggu sesuatu.
Ketika tiba-tiba timbul satukeinginan, maka saya harus segera mendapatkan keinginan itu bagaimanapun caranya.
Saya mau berkorban, demi mendapatkan sesuatu yang lebih berarti walaupun harus menunggu begitu lama.
Saya merasa sulit untuk memulai suatu kegiatan yang sudah direncanakan dengan matang.
Saya biasa bekerja keras untuk dapat mewujudkan keinginan yang sudah saya tekadkan dalam hati.
Saya termasuk orang yang biasa menunda pekerjaan, karena saya hanya bisa bekerja bila dalam keadaan santai.
Sekalipun ujian pertama saya gagal, saya tetap akan berusaha belajar lebih giat dan penuh semangat untuk mengikuti ujian perbaikan.
Saya selalu menasehati diri sendiri agar dapat mencapai prestasi tinggi dari setiap kegiatan yang saya lakukan.
Akhir-akhir ini saya seringkali merasa kurang bergairah atau bersemangat dalam mencapai prestasi.
Saya sering tenggelam dan hanyut dalam masalah yang dihadapi, sehingga merasa tak berdaya untuk melepaskan diri.
Ketika mendapatkan suatu masalah, saya sangat yakin bahwa masalah itu pasti akan berakhir.
Saya melihat bahwa tantangan dan rintangan adalah merupakan sarana belajar untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
Saya merasa bahwa apa yang saya lakukan selama ini hanyalah perbuatan yang sia-sia belaka.
Saya sering merasa takut dan ragu bila harus elakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya.
Dalam hidup ini saya merasa lebih banyak mendapat kekecewaan dibanding dengan kebahagiaan.
Saya banyak mempunyai teman yang dapat diandalkan, baik ketika sedih maupun ketika senang.
Saya tahu bahwa sebenarnya keadaan saya sekarang ini kurang begitu penting bagi teman-teman.
Saya sering merasa tidak mampu bila diminta tolong untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh teman.
Saya merasa kurang dapat menerima pandangan orang lain yang berbeda pendapat dengan saya.
Saya merasa ragu apakah teman-teman peduli terhadap saya sebagaimana layaknya seorang teman.
Saya dapat mengenali emosi orang lain, hanya dengan memperhatikan mata dan nada suaranya.
Saya jarang sekali terdorong untuk menghibur orang lain yang sedang mengalami musibah.
Saya merasa sulit untuk menjadi seorang pendengar yang baik ketika ada teman yang ingin menumpahkan masalahnya.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, saya selalu memperhatikan perasaan orang lain.
Saya dapat mengetahui dan merasakan, bila orang yang dekat dengan saya sedang merasa kesal.
Saya tidak mau jika harus memikirkan masalah-masalah yang dihadapi oleh orang lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar