Senin, 02 Februari 2009

topik khusus

engertian Vicarious Trauma 

Istilah ‘vicarious trauma’ pertama kali dikemukakan oleh McCann dan Pearlman (1990) untuk mendeskripsikan dampak pekerjaan yang berhubungan dengan penanganan trauma bagi seorang terapis. Konsep ini juga digunakan untuk menggambarkan efek trauma klien pada kehidupan terapis. Vicarious trauma (selanjutnya disebut dengan VT) didasari oleh Constructivist Self Development Theory (CSDT). Hipotesis teori ini adalah bahwa manusia memiliki kemampuan yang disebut dengan sumber daya ego, untuk mendukung dan memperkuat stabilitas, persepsi diri dan pandangan mengenai dunia dan dirinya sendiri. Apabila individu menghadapi kejadian traumatis maka pandangannya mengenai dunia akan berubah (Janoff-Bulman dalam Pickett, 1998). Penjelasan tersebut berkaitan dengan kondisi yang dialami oleh para penyedia jasa kemanusiaan atau pekerja kesehatan mental yang seringkali menangani para korban trauma. Kejadian-kejadian traumatis yang dialami korban membuat si terapis menjadi tersadarkan akan kengerian yang terjadi di dunia, dan hal ini membuatnya semakin menyadari kelemahan dan kerentanan hidup mereka sendiri (McCann dan Pearlman; Pearlman dan Saakvitne, dalam Pickett, 1998). 

Berdasarkan perspektif teori ini, maka McCann dan Pearlman (dalam Stamm,1999) mendefinisikan VT sebagai : 

“the transformation in the inner experience of the therapist that comes about as a result of emphatic engagement with client’s trauma material (hal.31). 

Berdasarkan definisi di atas, maka VT merupakan hasil transformasi suatu pengalaman dalam diri individu yang disebabkan oleh keterlibatan empatik seorang terapis dengan materi trauma klien. Pearlman dan Saakvitne (dalam Lonergan, 1999) lebih jauh mengungkapkan bahwa VT merupakan suatu proses dan hasil dari dampak kumulatif terapi trauma dengan beberapa klien. Dengan demikian VT bukanlah akibat dari sebuah kejadian statis atau hasil menangani satu orang klien saja. Premis dasar dari VT adalah bahwa terdapat perubahan besar yang mengambil bagian dalam aspek-aspek psikologis terapis. Perubahan ini meliputi perubahan identitas dan sudut pandang, seperti halnya kemampuan mereka untuk memelihara perasaan yang positif terhadap diri dan orang lain dan untuk mengontrol perasaan bermakna. Skema kognitifpun relatif terganggu, yang meliputi keyakinan tentang rasa aman, harga diri, kepercayaan, ketergantungan, kontrol, dan intimacy. 

Ada dua faktor utama yang memberikan kontribusi terjadinya VT, yaitu (a) aspek khusus dan kontekstual terapi itu sendiri, seperti jenis klien, lingkungan sosial dan iklim pekerjaan, dan (b) karakteristik dan daya tahan yang dimiliki terapis, serta cara terapis bekerja. Faktor eksternal dari materi trauma berperan juga dalam perkembangan VT (Pearlman dan Saakvitne, dalam Steed dan Downing, 1998). Ketidakmampuan klien untuk berfungsi sosial, termasuk di dalamnya sifat terlalu menuntut, menentang, curiga, atau memusuhi terapis, dapat menambah sebuah dimensi dari hubungan interpersonal yang dapat mengurangi kepercayaan diri terapis atau kemampuan empati dirinya dengan klien. Selain aspek sosial, faktor pekerjaan dan organisasi berpotensi untuk meningkatkan kecenderungan seseorang mengalami VT. Tuntutan pekerjaan yang memakan waktu, kasus-kasus yang terlalu banyak, tekanan untuk mengambil tanggung jawab lebih, rencana bisnis dan kurangnya pendanaan sehingga mempengaruhi pelayanan merupakan faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko VT (Pearlman dan Maclan dalam Picket, 1998). Selain faktor-faktor tersebut, terapis yang menganggap pekerjaan sebagai faktor penting dalam identifikasi diri mereka akan lebih mungkin terkena VT dibandingkan dengan terapis yang memandang pekerjaan dengan kaca mata yang lebih realistis. 

Constructivist Self Developmental Theory : Penjelasan mengenai terjadinya Vicarious Trauma 

CSDT menyatakan bahwa individu membangun suatu realitas personal dan membentuk harga diri mereka melalui skema atau sudut pandang kognitif dan keyakinan tentang dunianya (Pickett, 1998). Dinamika VT lebih dilihat sebagai suatu model perkembangan dan konstruktivis, dimana makna dan hubungan merupakan bagian integral dari pengalaman manusia. Oleh sebab itu, dibutuhkan usaha-usaha lanjut untuk memahami pengalaman para terapis atau cara mereka mengambil makna melalui pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian, akan memudahkan kita untuk memahami perkembangan terjadinya VT, faktor-faktor resiko yang terkait serta bentuk intervensi yang tepat, dengan cara melakukan pemahaman terhadap pengalaman terapis atau cara mereka memaknakan pengalamannya (Mc.Cann Pearlmann, dalam Lonergan, 1999). 

Individu mengkonstruksi realitas personal yang berkembang melalui struktur kognitif yang kompleks, yang disebut dengan “skema”. Skema ini meliputi sejumlah keyakinan (beliefs), asumsi, dan harapan tentang diri dan dunia serta membantu individu untuk memaknai keduanya. McCann dan Pearlman (dalam Hesse, 2002) membuat hipotesis bahwa pengalaman traumatik dapat menyebabkan gangguan yang serius pada beberapa aspek dalam skema seseorang, dan bahwa bekerja dengan klien yang mengalami trauma juga dapat memberikan efek yang sama pada terapis. Skema belief, asumsi, dan harapan yang terganggu atau mengalami perubahan pada terapis akan berbeda satu sama lain, dan hal itu tergantung pada dua faktor, yaitu: aspek kerja (lingkungan) dan aspek intrinsik pada individu. Aspek kerja meliputi jenis klien, faktor organisasi, dan isu sosial budaya. Aspek intrinsik, meliputi kepribadian, pengalaman masa lalu, lingkungan individu saat ini, dan tingkat profesional. 

Ada lima skema utama yang diidentifikasikan mengalami gangguan atau perubahan apabila terapis terlibat dalam materi trauma dan trauma dari klien (Pearlman dan Saakvitne, dalam Pickett, 1998). Kelima skema ini adalah: rasa aman, percaya, harga diri, keintiman dan kontrol. 

Rasa AmanRasa PercayaKontrolHarga DiriKeintiman


Rasa aman (safety) 

Rasa aman ternyata merupakan kebutuhan psikologis yang paling rentan terhadap materi trauma. Ketika kebutuhan ini dipengaruhi oleh informasi mengenai kejadian traumatis, terapis mulai waswas akan keselamatan dirinya dan orang-orang yang dicintainya. Keselamatan diri dan orang-orang yang dicintainya menjadi prioritas utama dari seseorang yang telah terganggu rasa amannya. Tingkah laku yang sering dijumpai pada keadaan ini adalah kecemasan dan pemeriksaan keamanan yang berlebihan, menghindari kerumunan, dan meningkatnya kritik terhadap diri sendiri. 



VT akan membawa dampak yang sangat besar bagi para profesional yang mengalaminya. Misalnya, kurangnya kemampuan untuk memulihkan kliennya (Pearlman dan Saakvitne dalam Stamm, 1999). Pada saat mereka merasa gagal untuk membantu kliennya, maka secara tidak langsung dapat berpotensi untuk menurunkan keyakinan akan kemampuan mereka sebagai profesional dan mengganggu identitas profesionalnya. 

Sumber bacaan: 

Hesse, A.R. (2002). Secondary Trauma : How Working with Trauma Survivors Affects Therapists. Clinical Social Work Journal, vol 30, 293 – 310. 

Lonergan, B.A. (1999). The Development of Trauma Therapist : A Qualitative Studi of the Therapist’s Perspectives and Experiences. Colorado : Counselling Psychology. 

Mc.Cann, I.L & Saakvitne, K.W. (1995). Treating Therapists with Vicarious Traumatization and Secondary Traumatic Stress Disorder. Dalam C.R. Fifley (Ed), Compassion Fatique : Secondary Traumatic Stress Disorder from Treating the Traumatized. New York : Brunner/ Mazel, Publishers. 

Pickett,G.Y. (1998). Therapist in Distress : An Integrative Look at Burnout, Secondary Traumatic Stress and Vicarious Traumatization. Dissertation. University of Missouri-St. Louis. 

Stamm, B.H. (1999). Secondary Traumatic Stress. Self Care Issues for Clinicians, Researchers & Educators. MD : Sidran Press. 

Steed, L.G. & Downing, R. (1998). A Phenomenological Studi of VT Amongst Psychologist and Professional Counsellor Working in The Field of Sexual Abuse/ Assault. The Australian Journal of Disaster & Trauma Studies.



Secondary Traumatic Stress                
Written by Evi Sukmaningrum, Psi., MSi.  


Pengertian Secondary Traumatic Stress
Bidang traumatologi (studi mengenai individu yang mengalami trauma) telah mencapai perkembangan yang pesat di akhir dekade ini (Figley, 1995). Salah satu kontribusinya adalah meningkatnya kesadaran bahwa seseorang akan mengalami dampak psikologis yang berat ketika mengalami kejadian yang traumatik. Oleh sebab itu, pada tahun 1980, American Psychiatric Association mempublikasikan adanya diagnosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dalam Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (Third Edition) (DSM-III). Diagnosis ini melihat simtom-simtom yang umumnya dialami oleh individu-individu yang mengalami trauma sebagai gangguan psikiatris. PTSD merepresentasikan betapa berbahayanya pengaruh biopsikososial dari pengalaman traumatis. 

Konsep PTSD mendorong penelitian-penelitian di bidang traumatologi. Dari ratusan penelitian dilaporkan bahwa ternyata individu yang tergolong mengalami trauma bukan hanya korban trauma itu sendiri (victims) tapi juga mencakup mereka yang terkena trauma secara tidak langsung (Pickett, 1998). Atau dengan kata lain, individu dapat mengalami trauma tanpa harus secara fisik berhadapan dengan peristiwa traumatik atau mendapatkan ancaman bahaya secara langsung. Selain itu, hanya dengan mendengar tentang kejadian traumatik itupun dapat berpotensi untuk membawa kondisi traumatik. Tidak hanya keluarga dari seseorang yang mengalami trauma yang rentan terhadap trauma sekunder, tetapi juga para pekerja kesehatan mental dan orang-orang lain yang ingin menolong korban (Figley, 1995). 

Charles R.Figley dan B.Hudnall Stamm (Stamm, 1999), yang bekerja menangani klien yang trauma pada sebuah Trauma Center, menyadari adanya suatu efek negatif yang dialami oleh para konselor. Efek ini justru muncul karena upaya seorang konselor dalam memberikan perhatian dan berempati kepada klien serta dorongan yang kuat untuk membantu klien. Menurut Figley dan Stamm (dalam Stamm, 1999), seorang konselor trauma bisa ikut mengalami beberapa simtom yang serupa dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang dimiliki oleh klien mereka. Figley (dalam Richardson, 2001) mendefinisikan situasi ini dengan Secondary Traumatic Stress (selanjutnya disebut STS), yaitu suatu hal yang terjadi secara natural, merupakan suatu konsekuensi tingkah laku dan emosi sebagai akibat dari pengetahuan mengenai suatu peristiwa trauma yang dialami oleh significant other. Istilah ‘sekunder’ mengacu pada kenyataan bahwa trauma itu dialami oleh orang lain, tetapi kemudian ikut dialami oleh pihak yang mengamati, memberikan bantuan, atau mendengarkan kisahnya (Sidabutar, 2003). Figley (1995) juga menyebut kondisi tersebut sebagai “reaksi secondary catastrophic stress”, yang berarti bahwa empati terhadap pengalaman orang lain menghasilkan ketegangan emosional (seperti kesedihan, kemarahan, dll). Hal ini merupakan “harga” dari memberikan perhatian, kepedulian, dan pertolongan pada individu yang mengalami trauma. 

Fenomena tentang STS juga diasosiasikan dengan “cost of caring” terhadap penderitaan emosional orang lain (Figley dalam Rudolph, Stamm, danStamm, 1997). Adanya suatu perasaan simpati yang mendalam dan kesedihan terhadap orang lain yang menderita, disertai dengan keinginan yang kuat untuk meringankan penderitaan mereka dan menghilangkan faktor penyebabnya menyebabkan seseorang mudah untuk mengalami STS (Joinson, dalam Stamm, 1999). 

Berdasarkan definisi di atas, maka STS merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan gangguan atau rasa sakit psikologis yang berkembang pada para profesional kesehatan mental yang bekerja dengan klien yang mengalami trauma (Chrestman dalam Stamm, 1999). Meskipun STS merupakan suatu konsekuensi yang alamiah akibat seseorang mendampingi orang lain yang mengalami trauma, namun tentu saja konsekuensi ini dapat menimbulkan stres yang sangat berat.  

Dampak Secondary Traumatic Stress 
Para peneliti telah membandingkan efek trauma klien pada pekerja kesehatan mental dengan simtom-simtom PTSD (Conrad dan Perry dalam Hesse, 2002). Mereka sependapat bahwa bekerja dengan klien yang mengalami trauma memiliki efek yang tak dapat dielakkan, mengganggu, dan jangka panjang pada terapis, dan bahwa reaksi ini mungkin saja terjadi tanpa memandang suku, jenis kelamin, usia, dan tingkat keahlian atau profesional seseorang (Edelwichdan Brodsky, dalam Hesse, 2002). Beberapa peneliti yakin bahwa STS dihasilkan dari proses pemaparan dari pengalaman traumatik yang dialami oleh orang lain. Figley dan Stamm (Stamm, 1999) melihat bahwa pengalaman bekerja dengan klien yang mengalami trauma dapat mengubah diri seorang konselor atau terapis menjadi lebih baik atau buruk. Dengan demikian, peristiwa dan pengalaman traumatis klien juga mempengaruhi kehidupan pribadi konselor. 

Menurut Beaton dan Murphy (dalam Cornille, 1999), individu yang mengalami STS umumnya menunjukkan simtom-simtom yang sama dengan PTSD, antara lain : 
Adanya gangguan tidur
Kemarahan
Ketakutan yang intense
Gangguan memory 
Sensitif
Cemas
Menekan emosi tertentu
Mimpi buruk
Kehilangan kontrol
Depresi
Tendensi untuk bunuh diri

Selanjutnya, efek dari STS itu sendiri akan mengganggu fungsi profesional individu. Yassen (dalam Richardson, 2001) menguraikan dampak STS terhadap fungsi profesional individu sebagaimana yang dapat dilihat melalui tabel berikut ini. 

Dampak STS terhadap profesionalitas individu 
Tampilan kerja     
Moral     
Interpersonal     
Tingkahlaku 

Penurunan kualitas dan kuantitas kerja 

Kurang motivasi 

Menghindari tugas 

Banyak melakukan kesalahan 

Standar kerja yang sempurna 

Obsesi terhadap detail     
Kurang percaya diri 

Kehilangan minat 

Rasa tidak puas 

Sikap negatif 

Apati 

Menjaga jarak 

Merasa hampa     
Menghindar dari rekan kerja 

Tidak sabar 

Penurunan kualitas relasi 

Sulit berkomunikasi 

Mudah konflik dengan rekan kerja     
Sering tidak masuk kerja 

Lelah 

Mudah marah 

Tidak bertanggungjawab 

Terlalu banyak bekerja 

Sering berganti-ganti pekerjaan 


(Yassen, dalam Richardson 2001) 




Daftar Pustaka 

Baird,S., Jenkins, S.R. (2003). Vicarious Traumatization, Secondary Traumatic Stress, and Burnout in Sexual Assault and Domestic Violence Agency Staff. Journal Violence and Victims, vol. 18, 71-85. 

Birck, A. (2001). Secondary Traumatization and Burnout in Professional Working with Torture Survivors. Traumatology, vol. 7, 1-4. 

Cornille, T.A. & Meyers, T.W. (1999). STS Among Child Protective Service Workers: Prevalence, Severity and Predictive Factors. Traumatology, vol. 2, 71-93. 

Courtois,C.A. (1993). Vicarious Traumatization of The Therapist. NCP Clinical Newsletter 3, 2. 

Figley, C.R. (1995). Compassion Fatique : An Introduction. Advanced Intervention Methods. Florida State University Traumatology Institute. 

Figley, C.R. & Stamm, B.H. (1996). Psychometric Review of Compassion Fatique Self Test. Available at http://www.sidran.org/digicart/products/stms.html. 

Hesse, A.R. (2002). Secondary Trauma : How Working with Trauma Survivors Affects Therapists. Clinical Social Work Journal, vol 30, 293 – 310. 

Jenkins, S.R., Baird, S. (2002). Secondary Traumatic Stress and Vicarious Trauma : A Validational Study. Journal of Traumatic Stress, vol. 5, 423 – 432. 

Lonergan, B.A. (1999). The Development of Trauma Therapist : A Qualitative Studi of the Therapist’s Perspectives and Experiences. Colorado : Counselling Psychology. 

Mc.Cann, I.L & Saakvitne, K.W. (1995). Treating Therapists with Vicarious Traumatization and Secondary Traumatic Stress Disorder. Dalam C.R. Fifley (Ed), Compassion Fatique : Secondary Traumatic Stress Disorder from Treating the Traumatized. New York : Brunner/ Mazel, Publishers. 

Pickett,G.Y. (1998). Therapist in Distress : An Integrative Look at Burnout, Secondary Traumatic Stress and Vicarious Traumatization. Dissertation. University of Missouri-St. Louis. 

Richardson, J.I. (2001). Guidebook on Vicarious trauma : Recommended Solutions for Anti-Violence Worker. Canada : Family Violence Prevention Unit. 

Rudolph, J.M., Stamm, B.H., Stamm, H.E. (1997). Compassion Fatique : A Concern for Mental Health Policy, Providers, & Administration. Poster at the 13th Annual Meeting of the International Society for Traumatic Stress Studies, Montreal, PQ,CA. 

Schauben, L., & Frazier, P. (1995). Vicarious trauma the effects on female counselors of working with sexual violence survivors. Psychology of Women Quarterly, 19, 49-64.  

Sexton, L. (1999). Vicarious Traumatisation of Counsellors and Effects on Their Workpaces. British Journal of Guidance & Counselling, 27, 3, 393 – 403. 

Sidabutar. S.I.E., Dharmawan. L.I., Poerwandari, K., Nurhaya,N. (2003). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas. Refleksi Untuk Konteks Indonesia. Jakarta : Kontras. 

Stamm, B.H. (1999). Secondary Traumatic Stress. Self Care Issues for Clinicians, Researchers & Educators. MD : Sidran Press. 

Steed, L.G. & Bicknell (2001). Trauma and Therapist : The Experience of Therapist Working with the Perpetrator of Sexual Abuse. The Australian Journal of Disaster & Trauma Studies, 1. 

Steed, L.G. & Downing, R. (1998). A Phenomenological Studi of VT Amongst Psychologist and Professional Counsellor Working in The Field of Sexual Abuse/ Assault. The Australian Journal of Disaster & Trauma Studies. 

Wibe, R.L. (2001). The Influence of Personal Meaning on Vicarious Traumatization in Therapist. Thesis : Trinity Western University.


Trauma                
Written by Evi Sukmaningrum, Psi., MSi.  


Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka (Cerney, dalam Pickett, 1998). Kata trauma digunakan untuk menggambarkan kejadian atau situasi yang dialami oleh korban. Kejadian atau pengalaman traumatik akan dihayati secara berbeda-beda antara individu yang satu dengan lainnya, sehingga setiap orang akan memiliki reaksi yang berbeda pula pada saat menghadapi kejadian yang traumatik. Pengalaman traumatik adalah suatu kejadian yang dialami atau disaksikan oleh individu, yang mengancam keselamatan dirinya (Lonergan, 1999). Oleh sebab itu, merupakan suatu hal yang wajar ketika seseorang mengalami shock baik secara fisik maupun emosional sebagai suatu reaksi stres atas kejadian traumatik tersebut. Kadangkala efek aftershock ini baru terjadi setelah beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu-minggu. Respon individual yang terjadi umumnya adalah perasaan takut, tidak berdaya, atau merasa ngeri. Gejala dan simtom yang muncul tergantung pada seberapa parah kejadian tersebut. Demikian pula cara individu menghadapi krisis tersebut akan tergantung pula pada pengalaman dan sejarah masa lalu mereka. 
Menurut Stamm (1999), stres traumatik merupakan suatu reaksi yang alamiah terhadap peristiwa yang mengandung kekerasan (seperti kekerasan kelompok, pemerkosaan, kecelakaan, dan bencana alam) atau kondisi dalam kehidupan yang mengerikan (seperti kemiskinan, deprivasi, dll). Kondisi tersebut disebut juga dengan stres pasca traumatik (atau Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD). Menurut Pickett (1998), ada dua bentuk simtom yang dialami oleh individu yaitu : (1) adanya ingatan terus menerus tentang kejadian atau peristiwa tersebut, dan (2) mengalami mati rasa atau berkurangnya respon individu terhadap lingkungannya. Kondisi tersebut selanjutnya akan mempengaruhi fungsi adaptif individu dengan lingkungannya. Seringkali, peristiwa yang traumatik akan sangat menyakitkan sehingga bantuan dari para ahli akan diperlukan dalam mengatasi trauma yang dialami. 

Daftar bacaan: 
Lonergan, B.A. (1999). The Development of Trauma Therapist : A Qualitative Studi of the Therapist’s Perspectives and Experiences. Colorado : Counselling Psychology. 
Pickett,G.Y. (1998). Therapist in Distress : An Integrative Look at Burnout, Secondary Traumatic Stress and Vicarious Traumatization. Dissertation. University of Missouri-St. Louis. 
Stamm, B.H. (1999). Secondary Traumatic Stress. Self Care Issues for Clinicians, Researchers & Educators. MD : Sidran Press.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar