Rabu, 11 Februari 2009

KONSELING KELOMPOK UNTUK ANAK ADHD

A. Pendahuluan

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah diagnostik yang di gunakan untuk menggambarkan orang yang mengalami penyimpangan pada tingkat perkembangan perhatian, hiperaktifitas dan impulsifitas. Mereka mengalami kesulitas dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas rutin atau berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama. Mereka mempunyai tingkah laku yang menggelisahkan dan mengganggu orang lain. American Psychiatric Association (1994) melaporkan sekitar 3 % sampai 5 % dari anak usia sekolah mengalami ADHD, dan dari jumlah tersebut didominasi oleh anak laki-laki (Kuffman, 1993; Barkley, 1990). 

Anak dengan ADHD selalu bermasalah di sekolah, terutama untuk menerima perintah agar duduk diam, untuk memperhatikan, dan fokus pada tugas akademik dan diskusi kelas. Mereka memerlukan bantuan dari guru yang spesifik dengan kelas yang lebih kecil dengan kemampuan mengatur tingkah laku anak yang memadai. Akan tetapi kenyataannya, sekitar 85 % sampai 95 % anak dengan ADHD masih dilayani di sekolah umum (Montague & Wagner, 1997). Guru kelas reguler terbiasa dengan kelas yang jumlah siswanya besar dan mereka harus mendapatkan pelatihan khusus untuk dapat menangani anak dengan kesulitan belajar.

B. Konselor Sekolalah dan Siswa dengan ADHD

Konselor sekolah, sebagai spesialis behavioral and relationship, dapat memberikan dorongan kepada anak dengan ADHD dan guru mereka. The American School Counselor Association (ASCA, 1994) telah menerbitkan dokumen resmi yang menjelaskan posisi dan keterlibatan konselor sekolah dalam menangani siswa siswa dengan kesulitan ini. Beberapa penulias (Erk, 1995; Lavin, 1997; Schweibert, Sealender & Tollerud, 1995) juga telah menunjukkan akan kebutuhan itu. 

Myrick (2002) telah membuat program bimbingan dan konseling perkembangan untuk sekolah dengan tujuan membantu siswa agar bisa belajar dengan efektif dan efisien. Konselor dapat menggunakan intervensi individual, kelompok kecil atau besar, intervensi kelompok teman sebaya, dan konsultasi dengan orang tua, guru dan petugas tata usaha. Kadang-kadang kelompok siswa yang mengalami ADHD mendapat perhatian dan intervensi khusus dari konselor.

Braswell dan Bloomquist (1991) merekomendasikan penggunaan konseling kelompok ketimbang konseling individual bagi anak yang mengalami ADHD. Sesi kelompok menurutnya dapat menutupi situasi hubungan nyata dengan teman sebaya; jumlah kelompok dapat membangun kemampuan kerjasama. Dengan konseling kelompok konselor dapat mengintervensi dan membantu anak yang memiliki permasalahan akademik dan sosial, terutama berkaitan dengan anak yang lemah kemampuannya dan sulit untuk membangun hubungan dengan teman sebaya. Intervensi yang konsisten dengan setting sekolah dipandang akan sangat efektif.

C. Memahami ADHD dalam Lingkungan Belajar

Selama beberapa dekade yang lampau, para peneliti menghubungkan kasus ADHD dengan faktor neurologi dan genetik. Kedua faktor inilah yang membuat gejala ADHD itu dapat diterapi, tetapi tidak dapat disembuhkan sama sekali (Barkley, 1998; Teetre & Semrud-Clikeman, 1995). Ini menunjukkan bahwa gejala ADHD memungkinkan untuk dimenej, tetapi tidak bisa dihilangkan sama sekali.

Gejala umum yang menjadi pertanda bahwa seorang anak mengidap ADHD adalah impulsivitas (perilaku untuk berbuat sekehendak hati). Prilaku impulsif inilah yang sering menjadi problem ketika anak penderita ADHD masuk dalam lingkungans ekolah umum. Ia akan selalu menjadi sumber kekacauan di kelas. Bahkan Zentall (1995) menyebutkan bahwa prilaku ini sering kali menjadi sumber konflik antara anak dengan teman, guru bahkan administrator sekolah. Dalam kaitan ini konselor dapat mengambil peran untuk mengarahkan perilaku anak agar dapat belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga mereka dapat menerima tugas dan berbagai aturan sekolah lainnya.

Sebenarnya, menurut McKinney, Montague, & Hocutt, (1993) serangan ADHD biasanya sudah mulai tampak sebelum anak berumur 4 tahun. Akan tetapi, seringkali gejala tersebut baru terdiagnosa ketika anak berada di bangku sekolah dasar, yaitu ketika anak baru pertama kali diperkenalkan dengan berbagai aturan sekolah yang mengikat mereka. Bagaimana anak belajar untuk mengatur diri dan lngkungan belajar selama tahun pertama mereka berada di sekolah akan sangat menentukan kesuksesan mereka untuk tahun-tahun kemudian.

Berdasarkan beberapa hasil riset (Barkley, DuPaul, & McMurray, 1990; Barkley, Fischer, Edelbrock, & Smallish, 1990; Weiss & Hechtman, 1993) disebutkan bahwa 56 % anak ADHD memerlukan pembelajaran privat, 30 % selalu mengulang kelas, 30 % - 40 % ditempatkan di sekolah khusus. Selanjutnya sekitar 46 % anak ADHD diasingkan dari sekolah, dimana lebih dari 30 % daripadanya adalah putus sekolah dan tidak menyelesaikan sekolah menengah atas. Sebagai tambahan, tanpa bantuan yang memadai, maka anak dengan ADHD akan sulit untuk mengembangkan kemampuan emosionalnya, dan selamanya mereka akan selalu menghadapi persoalan dalam mengatasi kemarahan, agresi, tekanan dan ketertarikan (McKinney et al., 1993; Reeve, 1990). Keadaan ini akan membuat anak penderita ADHD selalu berada di posisi oposisional yang selalu menentang dan mengacaukan suasana serta menjadi sumber konflik yang menyusahkan (Biederman, Faraone, & Lapey, 1992). 

Keterampilan belajar (learning skills) seperti keterampilan mendengar, memperhatikan, mengikuti petunjuk dan memperlihatkan kemampuan sosial mempunyai korelasi yang kuat dengan kesuksesan akademik dan sosial di sekolah (Cartledge & Milburn, 1978; Eisenberg et al., 1997; Masten & Coatworth, 1998). Akan tetapi anak penderita ADHD susah untuk memusatkan perhatian dan sebaliknya mudah dikacaukan, mereka mengalami kesukaran dalam membuat tugas akademik, menyelesaikan pekerjaan rumah, dan sulit bertindak yang wajar terhadap guru dan teman-temannya. Kegagalan dan perlawanan yang selalu diterimanya secara berulang akan menurunkan kepercayaan dirinya. Ini akan diikuti dengan penurunan perhatian dan meningkatnya frustrasi, melemahya performen, rendahnya hasil ujian, selalu berkeliaran di kelas, juga berbagai perilaku mengganggu lainnya. Hal-hal semacam inilah yang harus menjadi perhatian konselor sekolah (DuPaul & Stoner, 1994; Reeve, 1990; Zentall, 1993).

D. Intervensi ADHD

Perawatan yang paling umum terhadap kasus ADHD adalah pengobatan medis (Epstein, Singh, Luebke, & Stout, 1991). Menurut survey yang dilakukan Whalen & Henker (1991) menunjukkan bahwa 60 – 90 % anak penderita ADHD mendapatkan pengobatan stimulan medis dalam waktu yang panjang selama karir sekolah mereka. Walaupun pengobatan ini tidak berdampak pada peningkatan nilai akademik, akan tetapi mampu mengendalikan perilaku agresif mereka. 

Pengobatan medis tidak mengajarkan anak berperilaku yang tepat, tetapi mampu mempertinggi probabilitas kemunculan tingkah laku yang terkendali. Sementara, sebagaimana diungkapkan Barkley (1998) kesulitan anak penderita ADHD bukanlah untuk mengetahui harus berbuat apa, akan tetapi untuk mengetahui mereka harus membuat apa. Bukankah menurut Stein, Szumowski, Blondis, & Roizen (1995) ada perbedaan antara memiliki keterampilan dengan bagaimana menggunakan keterampilan itu secara efektif. Intervensi yang diberikan konselor dalam hal ini terkait dengan bagaimana agar anak mampu menggunakan keterampilan secara efektif.

Penelitian terbaru yang disponsori oleh The National Instututr of Mental Health (1999) menunjukkan bahwa pelayanan secara penuh yang melibatkan stimulan medis dan intervensi behavioral efektif untuk mengobati gejalan ADHD. Kombinasi tersebut menghasilkan perbaikan kemampuan sosial, hubungan orang tua-anak, dan prestasi akademik. Konselor sekolah bekerja dalam hal mengidentifikasi gejala perilaku ADHD, sementara diagnosa dan pengobatan medis bukan menjadi wilayah kerja konselor sekolah. Itulah sebabnya, Goldstein & Goldstein (1998) menambahkan bahwa agar konselor dapat membantu anak penderita ADHD dengan intervensi yang tepat, mereka harus : a) mempunyai pemahaman yang baik tentang ADHD; b) mempunyai berbagai teknik untuk meningkatkan keterampilan belajar; c) memiliki kemampuan membantu anak untuk mengerti dan paham betapa pentingnya isyarat-isyarat eksternal. Metode cognitive-behavioral dapat digunakan mengubah pemahaman para perawat (guru dan orangtua) terhadap jati diri anak penderita ADHD.

Teori Dasar Konseling

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT; Ellis & MacLaren, 1998) telah membangun sebuah teori konseling kelompok yang dapat membantu belajar siswa. Teori ini menawarkan pemikiran untuk meningkatkan kesadaran siswa dan keterampilan agar bisa sukses di sekolah. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa siswa penderita ADHD tidak bisa memunculkan perilaku yang tidak pernah dipelajari.

REBT menekankan perubahan tingkah laku dan pengaturan diri dengan pengujian dan modifikasi pemikiran yang memungkinkan, kepercayaan, perasaan dan harapan. Pendekatan ini mendukung intervensi perawatan terbaru terhadap anak penderita ADHD (Ellis & Wilde, 2002; Schweibert et al., 1995). Di sini diasumsikan bahwa gejala utama penyimpangan ini adalah ketidakmampuan anak dalam meningkatkan kemampuannya yang rendah. Myrick menyebutkan bahwa pendekatan ini adalah pendekatan yang sering dia gunakan dalam praktek konseling di sekolah.



E. JOURNEY: Sebuah Intervensi Konseling Kelompok

Apa yang akan diuraikan berikut adalah sebuah intervensi konseling kelompok kecil yang digunakan untuk siswa penderita ADHD. Intervensi difokuskan pada peningkatan pemahaman atas bentuk penyimpangan (disorder) dan bagaimana dampaknya terhadap prestasi belajar anak. Di sini diasumsikan bahwa yang diperlukan anak untuk mengenal dan menghadapi penyimpangan yang ada padanya, sebagiannya adalah mengenal siapa mereka sebenarnya. Lebih lanjut, penyimpangan itu dengan sendirinnya tidak akan terlepas dari pribadi, akademik atau tujuan karir mereka. Yang terpenting adalah bahwa rahasia sukses untuk mengatasi anak dengan problem ini adalah bagaimana mengatur pemikiran, perasaan dan perilaku mereka.

Intervensi berikut adalah sebuah praktek yang telah dilakukan oleh empat belas konselor sekolah dasar di sebuah distrik di Amerika Serikat terhadap enam anak penderita ADHD. Intervensi diformat dalam bentuk intervensi kelompok kecil yang terdiri dari enam sesi. Masing-masing sesi mempunyai sasaran yang spesifik terhadap pemikiran, perilaku dan keterampilan yang difokuskan pada kemampuan personal dan belajar anak yang dilakukan dengan cara mereview dengan cara melihat kemampuan mereka dalam menerapkan berbagai keterampilan. Sessi diakhiri dengan tugas yang harus dikerjakan anak dan mengungkapan rangkuman yang dapat membesarkan hati mereka. Puncak kegiatan diisi dengan snack, juice dan berbagi pengalaman dari masing-masing kelompok dengan mereview rencana yang telah disusun bersama. 

Sessi intervensi didasarkan pada tema penjelajahan (jurney) yang sekiranya anak-anak akan senang mengikutinya. Tentu saja, perjalanan memerlukan persiapan dan kemampuan untuk mengenali tanda jalan tertentu dan pengaturan rute sedemikian rupa sehingga siswa akan tiba dengan tepat dan aman pada tujuan. Ini penting, sebab biasanya anak penderita ADHD mempunyai kecenderungan untuk mengikuti perjalanan dengan cara yang berbeda, biasanya mereka akan menempuh rute yang berbeda, walaupun sebenarnya dengan rute itu mereka juga akan tiba ditujuan dengan waktu yang sama. Kiasan dari program ini adalah bahwa dengan tema ini anak akan mendapatkan banyak peluang untuk berkerja secara kelompok yang menyenangkan dan mereka punya peluang untuk berpartisipasi untuk menyusun dan melaksanakan tujuan bersama. Aktivitas ini akan banyak berpengaruh pada karakteristik pribadi dalam mencapai tujuan dan keterampilan pengaturan diri. Seperti ketika mereka mengatur strategi yang diperlukan sepanjang perjalanan, aktivitas itu sebenarnya juga terkait dengan persoalan akademik, pribadi, sosial dan tujuan karir yang didiskusikan dengan teman sebayanya. 

Menyusun Program Penjelajahan

Konselor memulai intervensi dengan mengatakan kepada kelompok anak yang dintervensi bahwa mereka dipilih sebagai anggota kelompok karena mereka diidentifikasi mempunyai perbedaan dengan pelajar lain : mereka anak dengan ADHD. Konselor boleh menanyakan: “Apa yang anda ketahui tentang ADHD ?”

Diskusi dan klarifikasi dapat membantu siswa mengidentifikasi gejala ADHD dan bagaimana gejala tersebut dimanifestasikan di sekolah, sehingga mereka sering dianggap berbeda dengan teman lainnya. Kemudian konselor memberikan penjelasan tentang berbagai program yang harus dijalankan oleh kelompok mereka masing-masing, dan mereka diberikan kesempatan untuk menyususun strategi untuk mencapoai tujuan bersama itu. Mereka akan terlibat dalam diskusi untuk menentukan jalan yang benar bagi diri dan teman mereka. Diskusi ini tentunya akan melibatkan segenap pemikiran, perasaan dan perilaku mereka. Jika acara pembukaan ini selesai, mereka boleh memulai perjalanan.






Sessi Pertama: Penjelajahan Kita

Peserta mulai perjalanan sambil mencari berbagai alternatif alur yang bisa dilalui untuk mencapai tujuan yang tercantum dalam Peta Perjalanan, mereka memperbicangkan tempat dan tujuan yang hendak dituju. Dari sini mereka belajar bahwa semua anak tidak harus melalui jalan yang sama untuk mencapai sekolah, mereka boleh memilih jalan masing-masing sesuai dengan yang ia yakini paling mudah. Ringkasan statemen : Walaupun penderita ADHD, bukan berarti kamu tidak bisa menjadi siswa yang sukses; hanya saja, kamu memerlukan sedikit jalan yang berbeda dengan orang lain. Jika kamu bisas mengendalikan dirimu maka, kesuksesan akan menantimu di kemudian hari.

Sessi Kedua: Berkemas

Siswa mendapati “tas yang morat-marit”. Konselor memulai sessi dengan dengan menggeledah tas atau semua kantong bawaan siswa dengan mengacak-acak semua isinya. Ini adalah demo tentang situasi chaos (kacau). Siswa diminta untuk merapikan kembali dengan cara memilah mana yang barang pribadi dan mana yang kepunyaan kelompok. Barang-tersebut dikumpulkan kembali dengan serapi mungkin dan tidak ada barang yang tertukar. Ini adalah adegan pembelajaran siswa bagaimana cara mengorganisasikan sesuatu. Sessi ditutup dengan statemen ringkas: “Menyimpan sesuatu secara rapi terorganisir adalah penting. Ini adalah sebuah jalan yang dapat membantu kamu mengatur dirimu sendiri untuk menuju sukses di sekolah.”

Sessi Ketiga: Stop Lights dan Tanda Lalulintas

Siswa diminta untuk menghayal “sedang berada di dalam mobil” untuk meningkatkan kesadarannya bahwa mereka butuh untuk memperhatikan dan mematuhi berbagai tanda yang ada di sekitar. Mereka diminta untuk menjadi navigator, sementara kawannya menjadi supir. Mereka diminta untuk merespon berbagai tanda gambar yang ditunjukkan di depan mereka dengan interval waktu yang semakin lama semakin dekat, sehingga mereka harus memusatkan penglihatan pada tanda-tanda yang akan muncul. Siswa yang akan menjadi pemenang dalam permainan ini adalah mereka yang paling sedikit melanggar tanda-tanda lalu lintas. Sessi ditutup dengan ringkasan dari konselor dengan mengatakan: “Dengan ADHD menjadikan kamu sulit untuk mendengar dan memperhatikan, akan tetapi bukan berarti itu tidak bisa dilakukan. Selalu belajar dan selalu mengingatnya setiap hari adalah cara berlatih yang baik untuk menggapai kesuksesan.”


Sessi Keempat: Menggunakan Tanda Jalan sebagai Petunjuk

Siswa mengidentifikasi tanda jalan yang sudah familiar sebagai isyarat (petunjuk) perilaku di jalan sebelum mereka mengidentifikasi tanda-tanda di dalam kelas yang mungkin dapat membantu memberikan isyarat perilaku atau mengingat sesuatu. Siswa mengembangkan isyarat (petunjuk) masing-masing yang dapat mendorong peningkatan kesuksesan di kelas. Statemen penutup: “Siswa penderita ADHD dapat meningkatkan kesuksesannya di kelas dan mendapatkan apa yang telah dikerjakan dengan menggunakan petunjuk (isyarat) yang ada di dalam kelas dan memperbaiki diri sendiri adalah jalan untuk menggapai semua itu.

Sessi Kelima: Lubang Jalan dan Jalan Memutar

Siswa membayangkan hal-hal yang dapat membuat mereka melewati jalan yang salah, termasuk di dalamnya rintangan yang dapat menghambat untuk sampai tujuan (konstruksi, jalan yang memutar, lubang di jalan dan sebagainya). Dari sini siswa akan dapat merefleksikan berbagai rintangan yang yang akan menghambat kesuksesan mereka di sekolah. Konselor mengajarkan dan menunjukkan pilihan strategi kognitif-behavioral sebelum konselor memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan strategi tersebut. Konselor menutup sessi dengan: “Kita mengetahui bahwa banyak jalan yang berlubang bagi siswa ADHD. Banyak pula jalan yang berlubang bagi semua siswa, tapi jika kalian telah menandai peta jalan kalian, maka kalian akan bisa sampai tujuan. Kalian sedang belajar bejalan dan menemukan rintangan serta sistuasi sulit, maka lanjutkanlah perjalanan kalian.

Sessi Keenam: Bantuan di Pinggir Jalan dan Menjadi Mekanik Sendiri

Dalam perjalanan tidak tertutup kemungkinan seseorang tersesat. Dalam situasi seperti ini, meminta bantuan orang lain adalah pilihan yang tepat. Setelah itu baru kita bisa mengeplorasi berbagai kemampuan dan menjadi mekanik bagi diri kita sendiri. Konselor harus menyampaikan bahwa sebagaimana dalam perjalanan, dalam situasi belajar, jika siswa mengalami kesulitan, jangan segan-segan untuk bertanya pada orang lain agar bisa keluar dari kesulitan tersebut. Akan tetapi kita harus ingat bahwa tidak boleh selamanya kita tergantung dengan orang lain, kita harus bisa menjadi montir bagi diri kita sendiri. Kita harus bisa memperbaiki setiap kesalahan yang kita perbuat.

Sessi Terakhir : Ringkasan

Konselor menjelaskan bahwa sebagaimana anak-anak telah sukses dalam menempuh perjalanan yang telah diprogramkan dengan menggunakan berbagai bantuan yang diperlukan, mereka juga harus sukses di sekolah. Sessi bisa diakhiri dengan: “Anak-anak sekalian, kita telah mengadakan perjalanan yang sangat melelahkan sekaligus menyenangkan. Banyak hal yang telah kita peroleh dari perjalanan kita. Kita telah mengetahui seluk-beluk tentang ADHD, dan berbagai sikap dan perilaku yang bisa mengatasi hambatan yang disebabkan oleh ADHD tersebut. Agar kita bisa sukses, kita tidak boleh menyerah. Kita harus menetapkan tujuan hidup kita, dan jangan cemas jika tujuan dan jalan hidup kita harus berbeda dengan orang lain. Untuk itu kita harus hidup terorganisir dengan rapi. Kita bisa menggunakan berbagai alat bantu untuk mencapai kesuksesan hidup. Jika kita mengalami hambatan dan rintangan, kita jangan ragu untuk minta bantuan orang lain, tapi ingat jangan sampai kita tergantung pada bantuan tersebut. Kita harus bisa menjadi mekanik dari diri kita sendiri. Begitu juga untuk bisa sukses di sekolah.

F. Kesimpulan

Riset dan teori ini disajikan untuk memberikan pemahaman kepada konselor tentang ADHD dan mendorong terbangunnya intervensi konseling kelompok kecil untuk siswa yang mengidap ADHD. Intervensi ini hanya sebagian dari berbagai bentuk intervensi yang bisa digunakan untuk meningkatkan prestasi siswa di sekolah. Dengan bentuk intervensi yang multiarah akan sangat membantu guru, juga berdampak pada pemahaman siswa mengenai ADHD.

Dalam intervensi konseling kelompok kecil dalam bentuk journey ini, siswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkannya untuk bisa keluar dari “penjara” ADHD, dan mengisinya dengan cara pandang dan keterampilan-keterampilan yang bisa mengantarkan mereka pada sukses di sekolah, dan juga untuk masa depannya. Dan ini akan terwujud jika dalam diri siswa yang mengalami ADHD telah tumbuh kesadaran dan tanggung jawab atas setiap tindakan yang dilakukannya serta mampu mengatur dirinya sendiri sehingga kehadirannya di lingkungan sekolah tidak lagi menjadi “pengganggu” teman sebayanya.







DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed.). Washington, DC: Author.

American School Counselor Association. (1994). Position statement: Attention deficit hyperactivity disorder. Alexandria, VA: Author.

Barkley, R. A. (1990). Attention-deficit hyperactivity disorder: A handbook for diagnosis and treatment. New York: Guilford.

Barkley, R. A. (1998). Attention-deficit hyperactivity disorder: A handbook for diagnosis and treatment (2nd ed.). New York: Guilford.

Barkley, R. A., DuPaul, G.J., & McMurray, M. B. (1990). A comprehensive evaluation of attention deficit disorder with and without hyperactivity. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 58, 775-789.

Barkley, R. A., Fischer, M., Edelbrock, C. S., & Smallish, L. (1990). The adolescent outcome of hyperactive children diagnosed by research criteria: I. An 8 year prospective follow-up study. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 29, 546-557.

Biederman, J., Faraone, S.V., & Lapey, K. (1992). Comorbidity of diagnosis in attention-deficit hyperactivity disorder. In G. Weiss (Ed.), Child and adolescent psychiatric clinics of North American: Attention-deficit hyperactivity disorder (pp. 335-360). Philadelphia: Saunders.

Braswell, L. (1993). Cognitive-behavioral groups for children manifesting ADHD and other disruptive behavior disorders. In J. E. Zins & M. J. Elias (Eds.), Promoting student success through group interventions. New York: The Hawthorn Press.

Braswell, L., & Bloomquist, M. L. (1991). Cognitive-behavioral therapy for children with ADHD: Child, family and school interventions. New York: Guilford.

Cartledge, G., & Milburn, J. F. (1978). The case for teaching social skills in the classroom: A review. Review of Educational Research, 48, 133-156.

Cuthbert, M. I. (1987). Developmental guidance activities for school success skills: A comparison of modeling and coaching. Doctoral Dissertation, University of Florida, Gainesville.

Du Paul, G. J., & Rapport, M. D. (1993). Does methylphenidate normalize the classroom performance of children with attention deficit disorder? Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 32, 190-198.

DuPaul, G. J., & Stoner, G. (1994). ADHD in the schools: Assessment and intervention strategies. New York: Guilford.

Eisenberg, N., Gutrie, I., Fables, R., Reiser, M., Murphy, B., Homren, R., et al. (1997). The relations of regulations and emotionality to resiliency and competent social functioning in elementary school children. American Psychologist, 53, 205-220.

Ellis, A., & MacLaren, C. (1998). Rational-emotive behavior therapy. Atascadero, CA: Impact.

Ellis, A., & Wilde, J. (2002). Case studies in Rational Emotive Behavior Therapy with children and adolescents. Upper Saddle River, NJ: Merrill Prentice-Hall.

Epstein, M. H., Singh, N. N., Luebke, J., & Stout, C. E. (1991). Psychopharmacological intervention: Teacher perceptions of psychotropic medication for students with learning disabilities. Journal of Learning Disabilities, 24, 477-483.

Erk, R. R. (1995). A diagnosis of attention deficit disorder: What does it mean for school counselors? The School Counselor, 42, 292-299.

Goldstein, S., & Goldstein, M. (1998). Managing attention-deficit hyperactivity disorder in children: A guide for practitioners. New York: Wiley.

Kauffman, J. M (1993). Characteristics of emotional and behavioral disorders of children and youth (5th ed.). New York: Merrill.

Kavale, K. (1992).The efficacy of stimulant drug treatment for hyperactivity: A meta-analysis. Journal of Learning Disabilities, 15, 280-289.

Lavin, P. (1997). A daily classroom checklist for communicating with parents of children with attention deficit hyperactivity disorder. The School Counselor, 44, 315-318.

Linn, R. T., & Hodge, G. K. (1982). Locus of control in childhood hyperactivity. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 50(4), 592-593.

Masten, A., & Coatworth, J. (1998). The development of competence in favorable and unfavorable environments: Lessons from research on successful children. American Psychologist, 53, 205-220.

McKinney, J. D., Montague, M, & Hocutt, A. M. (1993). Educational assessment of children with attention deficit disorder. Exceptional Children, 60(2), 125-131.

Montague, M., & Wagner, C. (1997). Helping students with attention deficit hyperactivity disorder succeed in the classroom. Focus on Exceptional Children, 30(4), 1-16.

Myrick, R. D. (2002). Developmental guidance and counseling: A practical approach (4th ed.). Minneapolis, MN: Educational Media Corp.

MTA Cooperative Group. (1999). A 14-month randomized clinical trial of treatment strategies for attention deficit hyperactivity disorder. Archives of General Psychiatry, 56(12), 1073-1086.

Reeve, R. E. (1990). ADHD: Facts and fallacies. Intervention in School and Clinic, 26, 115-120.

Schweibert, V. L., Sealander, K. A., & Tollerud, T. R. (1995). Attention deficit hyperactivity disorder: An overview for school counselors. Elementary School Guidance and Counseling, 29, 249-259.

Shaywitz, S. E., & Shaywitz, B. A. (Eds.). (1992). Attention deficit disorder comes of age: Toward the twenty-first century. Austin, TX: Pro-Ed.

Stein, M. A., Szumowski, E., Blondis, T. A., & Roizen, N. J. (1995). Adaptive skills dysfunction in ADD and ADHD children. Journal of Child Psychology and Psychiatry and Allied Disciplines, 36, 663-670.

Teeter, P. A., & Semrud-Clikeman, M. (1995). Integrating neurobiological, psychosocial, and behavioral paradigms: A transactional model for the study of ADHD. Archives of Clinical Neuropsychology, 10, 433-481.

Webb, L. D. (1998). [Counselor interventions for helping ADHD students). Unpublished raw data.

Webb, L. D. (1999). A group counseling intervention for children with attention deficit hyperactivity disorder Doctoral Dissertation, University of Florida, Gainesville.

Weiss, G., & Hechtman, L. (1993). Hyperactive children grown up: ADHD in children, adolescents and adults (2nd ed.). New York: Guilford.

Whalen, C. K., & Henker, B. (1991). Therapies for hyperactive children: Comparisons, combinations, and compromises. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 59, 126-137.

Zentall, S. S. (1993). Research on the educational implications of attention deficit hyperactivity disorder. Exceptional Children, 60(2), 143-153.
Zentall, S. S. (1995). Modifying classroom tasks and environments. In S. Goldstein (Ed.), Understanding and managing children's classroom behavior. New York: Wiley.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar