Rabu, 11 Februari 2009

TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK KEKERASAN ANAK DI BAWAH UMUR

Latar Belakang

Tindak kekerasan terhadap anak merupakan permasalahan yang cukup kompleks, karena mempunyai dampak negatif yang serius, baik bagi korban maupun lingkungan sosialnya .Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental.Undang – Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 4 mnyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”[1]
Tindak kekerasan terhadap anak adalah perilaku dengan sengaja (verbal dan non verbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik atau merusak anak, mental sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, berdampak trauma psikologis bagi korban.
Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling dirasakan yaitu pengalaman traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada permasalahan-
permasalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial. Yang dimaksud dengan anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun. Oleh karena itu, kekerasan pada anak adalah tindakan yang di lakukan seseorang /individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu. Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan pada anak juga sering kali dihubungkan dengan lapis pertama dan kedua pemberi atau penanggung jawab pemenuhan hak anak yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan keluarga.kekerasan yang disebut terakhir ini di kenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse yang merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebun, dan seterusnya. Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu. Tindak kekerasan terhadap anak merupakan permasalahan yang cukup kompleks, karena mempunyai dampak negatif yang serius, baik bagi korban maupun lingkungan sosialnya.
Pembahasan
Kekerasan pada anak melanggaran HAM berat yang dapat mengakibatkan :
1. Mengabaikan hak asasi orang.
2. Mengakibatkan penderitaan fisik, mental dan sosial.
3. Mengganggu tumbuh kembang anak.
4. Menghambat masa depan.

Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.
• Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres.
• Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua
terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin.
• Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar. Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor social budaya yang kental dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para pelaku makin merasa sahlah untuk mendera anak. Dengan sedikit factor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya.
Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala, gegar otak, atau perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin, mulai dari luka lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, patah tulang. Perlukaan organ dalam (visceral injury) tidak dapat dideteksi dari luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam dengan melakukan otopsi. Perlukaan pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk yang khas menyerupai benda yang digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu lidi, setrika, atau sundutan rokok. Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan yang ditemukan seringkali berganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada yang masih baru ada pula yang hamper menyembuh atau sudah meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu lokasi perlukaan dijumpai pada tempat yang tidak umum sepertihalnya luka-luka akibat jatuh atau kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas
sebelah dalam, punggung, telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya. Pada saat ditanyakan tentang bagaimana kejadiannya sampai perlukaan tersebut bisa terjadi, biasanya orang tua atau wali yang mengantar anak itu akan memberikan jawaban yang tidak konsisten dan tidak klop antara kedua orang tua dengan kata lain jawabannya “ngarang”. Untuk anak yang berusia diatas 3 tahun kita dapat menanyakan kejadiannya pada korban, tapi ini dilakukan di ruang terpisah dari tersangka pelaku (private setting). Juga,anak yang menjadi korban ini di bawa untuk mendapatkan perawatan tidak dengan segera atau ada jarak waktu antara kejadian dengan upaya melakukan pertolongan .
Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatanitu, pelaku tidak sadar bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana penjata atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang
tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertigany ( pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, sebagai berikut: (1). Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00. (2). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, makapelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.00. (3). Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP.200.000.000.004. Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan
tersebut orang tuanya).[2]

Bentuk – bentuk tindak kekerasan terhadap anak :
1. Fisik (dianiaya di luar batas : dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit, dicekik, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, dsb).
2. Psikis (dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dsb).
3. Seksual (diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas payudaranya, dicolek pantatnya, diraba- raba pahanya, dipaksa melakukan oral sex, dijual pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-remang dan pelecehan seksual lainnya).
4. Ekonomi (dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dsb).

Dampak dari tindak kekerasa terhadap anak yang paling dirasakan yaitu pengalaman traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada permasalahan- permasalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial. Dampak tindakan kekerasan terhadap anak stikma yang melekat pada korban :


Stigma Internal
Kecenderungan korban menyalahkan diri.
Menutup diri.
Menghukum diri.
Menganggap dirinya aib, dsb.


Stigma Eksternal
Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.
Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami secara terbuka dan tidak mengiraukan privasi korban

Dampak tindak kekerasan terhadap anak (Faktor – faktor kausalitas yang signifikan) :
1. Masalah kemiskinan.
2. Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas.
3. Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial.
4. Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum.
5. Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu.
6. Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus.


Faktor penyebab dan upaya reduksi :
Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang demikian berat dalam diri para korban tindak kekerasan, menuntut diambilnya langkah penanganan yang holistik dan komprehensif melalui pendekatan interdisipliner,interinstitusional
dan intersektoral dengan dukungan optimal dari berbagai sumber dan potensi dalam masyarakat.

Komitmen pemerintah :
Secara operasional pemerintah menindaklanjuti kebijakan dalam kesepakatan bersama antara :
Menteri Sosial RI No.: 75/HUK/2002, Menteri Kesehatan No. :1329/Menkes/SKB/X/2002,
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI No.: 14/Men PP/Dep.V/X/2002, dan
Kepala Kepolisian Negara RI No.: B/3048/X2002 Tentang Pelayanan Terpadu korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Upaya pencegahan
Mengingat sedemikian kompleks kekerasan pada anak ini maka usaha pencegahan kekerasan pada anak tidak hanya tergantung pada program dan layanan yang telah disediakan oleh pemerintah melainkan juga sangat tergantung pada bagaimana masyarakat memaknai issu kekerasan ini.
Beberapa indikator bahwa pemerintah atau Negara menempatkan anak sebagai prioritas utama di antaranya adalah sebagai berikut:
• Kemarahan warga termotivasi dan mereka akan bertindak saat mendengar ada anak yang mengalami kekerasan.
• Perumahan yang memadai tersedia bagi seluruh keluarga, layanan kesehatan dapat terjangkau seluruh keluarga.
• Sistim layanan sosial dapat dijangkau keluarga saat
mereka membutuhkan bantuan sebelum kekerasan pada anak terjadi.
• Materi umum mengenai bimbangan dan perawatan anak serta materi komunikasi
interpersonal, penyelesaian konflik tanpa kekerasan, dijumpai dalam kurikulum sekolah mulai taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan dan diteruskan untuk pendidikan bagi orang dewasa.
• Program pendidikan dan latihan kerja tersedia bagi pekerja dalam rangka memperoleh pekerjaan dan upah yang memadai.
• Kebijakan tempat kerja yang mendukung keluarga seperti perjanjian kerja yang memungkinkan karyawan memilih waktu kerjanya sendiri.
• Setiap orang tua memiliki akses untuk menolong dirinya dan kelompok pendukung ,
• Model-model kampanye anti kekerasan jelas terlihat,
• Sistem hukum, pidana atau perdata, memiliki dana, staf
terlatih yang cukup untuk menyelesaikan kasus kekerasaan dengan tepat dan adil,
• Program pendidikian bagi orang tua berbasis budaya dan etnis tersedia bagi seluruh orang tua yang baru punya anak.
Ketika masyarakat sadar akan keberadaan kekerasan pada anak ini sebagai salah satu masalah mereka yang meresahkan, maka dengan sendirinya masyarakat sangat berkeingingan untuk membantu seluruh upaya layanan, program ataupun kebijakan terkait dengan pencegahan kekerasan pada anak. Upaya pencegahan kekerasan pada anak dapat dilaksanakan dari dua sisi, masyarakat dan pemerintah. Pemerintah sangat diharapkan memiliki komitmen dasar nasional yang sungguh-sungguh untuk anak. Sebagai langkah awal dimulai dengan inisiatif pemimpin atau tokoh nasional untuk ambil bagian untuk mendukung upaya pencegahan sebagai salah satu usaha penting memerangi kekerasan pada anak.Tokoh atau pemimpin berkaliber nasional berinisiatif mendukung upaya ini, dengan kemampuannya bisa mempengaruhi kebijakan baik pada sektor privat atau publik. Aksi berikut yang perlu diambil adalah memasukan langkah Pencegahan kekerasan pada anak secara komprehensif ke dalam sistim peradilan. Sistim hukum yang ada, baik peradilan anak, pidana, dan perdata, seluruh peraturan dan prosedurnya harus sedemikan rupa sehingga sensitif dengan kebutuhan anak dan keluarga. Tentu dalam hal ini harus ditunjang pula dengan jumlah tenaga hakim, pengacara, staf pengadilan terlatih yang memadai. Bagi masyarakat, keluarga, atau orang tua diperlukan kebijakan, layanan, sumberdaya, dan pelatihan pencegahan kekerasan pada anak yang konsisten dan terus menerus.
Strategi pencegahan ini meliputi :
• Pencegahan primer
Untuk semua orang tua dalam upaya meningkatkan kemampuan pengasuhan dan menjaga agar perlakuan salah atau abuse tidak terjadi,
meliputi perawatan anak dan layanan yang memadai, kebijakan tempat bekerja yang medukung, serta pelatihan life skill bagi anak.Yang dimaksud dengan pelatihan life skill meliputi penyelesaian konflik tanpa kekerasan, ketrampilan menangani stress, manajemen sumber daya, membuat keputusan efektif, komunikasi interpersonal secara efektif, tuntunan atau guidance dan perkembangan anak, termasuk penyalahgunaan narkoba.

• Pencegahan sekunder
Ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan risiko tinggi dalam upaya meningkatkan ketrampilan pengasuhan, termasuk pelatihan dan layanan korban untuk menjaga agar perlakuan salah tidak terjadi pada generasi berikut. Kegiatan yang dilakukan di sini di antaranya dengan melalukan kunjungan rumah bagi orang tua yang baru mempunyai anak untuk melakukan self assessment apakah mereka berisiko melakukan kekerasan pada anak di kemudian hari.
• Pencegahan tersier
Dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengasuhan yang menjaga agar perlakuan salah tidak terulang lagi, di sini yang dilakukan adalah layanan terpadu untuk anak yang mengalami korban kekerasan, konseling, pelatihan tatalaksana stres. pada saat kasus kekerasan pada anak ditemukan, sebenarnya ada masalah dalam pengasuhan anak (parenting disorder) di belakang kejadian tersebut. Maka dari itu, dasar dari strategi pencegahan adalah tersedianya secara luas akses untuk mendapatkan informasi pengasuhan bagi para orang tua khususnya bagi mereka yang memiliki anak pertama. Di sisi lain, anak dengan segala haknya harus pula dimengerti dan dipahami para orang tua sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas pemenuhan hak anak tersebut. Semua usaha yang dilakukan dalam rangka mengubah perilaku orang tua agar melek informasi pengasuhan dan hak anak. membutuhkan upaya edukasi sejak dini dan terus menerus. Sehingga pendidikan sebagai bagian dari strategi pencegahan kekerasan pada anak menjadi sangat penting.

Pola penanganan kasus kekerasan anak (Prinsip penanganan kasus kekerasan anak sesuai KHA yaitu ) :
1. Non diskriminasi
2. Kepentingan terbaik anak
3. Menghormati pendapat anak
4. Mengutamakan hak anak demi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang

Pendekatan penanganan
Metode pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan
kesejahteraan sosial, yang dilakukan secara terencana,
terorganisasi dan berkelanjutan :
1. Pendekatan Katalis
2. Pendekatan Informatif
3. Pendekatan Konsultatif
4. Pendekatan Partisipatif

Penyelenggara penaganan kasus kekerasan anak (Departemen / Instansi pemerintah yang terkait di Pusat dan Daerah :
1. Departemen Sosial
2. Departemen Kesehatan
3. Departemen Pendidikan Nasional
4. Departemen Agama
5. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
6. Kementerian Pemberdayaan Perempuan
7. Kepolisian
8. Kejaksaan
9. Pengadilan
10.Lembaga Legislatif
11.Instansi/Dinas Terkait di Daerah

Lembaga dan Organisasi Masyarakat :
1. Komnas PA (Komisi Nasional Perlindungan Anak)
2. KPAI (Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia)
3. LPA (Lembaga Perlindungan Anak)
4. Orsos (DNIKS, BKKKS, LKKK)
5. LSM/NGO
6. Perguruan Tinggi
7. Dunia Usaha
8. Pramuka
9. Karang Taruna

Indikator Keberhasilan :
Bagi Anak :
Sembuhnya trauma anak, baik fisik maupun psikis.
Penempatan anak dalam keluarga sendiri, keluarga asuh, keluarga angkat atau panti sosial asuhan anak berdasar pada kepentingan yang terbaik untuk anak.
Terpenuhinya semua kebutuhan fisik, mental dan sosial secara optimal
Semakin meningkatnya kemampuan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.




Bagi Orang tua / Keluarga :
Terpenuhinya semua kebutuhan fisik, mental, sosial dan ekonomi secara optimal sehingga memungkinkan untuk melaksanakan peran sosial orang tua/keluarga secara wajar, khususnya peranan pengasuhan dan perlindungan anak.
Terpecahkannya masalah dalam interaksi dengan anak dan komunitas sehingga memungkinkannya untuk melaksanakan peranan-peranan sosial orang tua/keluarga secara wajar

Bagi Umum :
Meningkatnya partisipasi masyarakat, khususnya Organisasi Sosial/Lembaga Swadaya Masyarakat dalam berbagai aspek perlindungan anak
Meningkatnya dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam perlindungan anak.
Meningkatnya kemampuan profesional semua pihak yang mengelola dan melaksanakan berbagai bentuk perindungan anak.

Kesimpulan :

Jumlah anak korban tindak kekerasan pada perlakuan salah satu pada tahun 2006 mencapai 48.526 kasus[3]. Jumlah ini diyakini lebih banyak lagi, seperti fenomena gunung es (the tip of ice berg) mengingat banyak kasus yang tidak terlaporkan maupun sengaja dirahasiakan karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga, maupun masyarakat sekitar. Tindak kekerasan terhadap anak adalah perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal dan non verbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, berdampak trauma psikologis bagi korban.
Oleh karena itu baik pemerintah maupun masyarakat harus berperan aktif dalam masalah ini,untuk itu pemerintah bias melakukan langkah – langkah tersebut, antara lain :
1. Pemberian jaminan, dan perlindungan kepada anak – anak yang membutuhkan perlindungan khusus untuk terjaminnya pemenuhan hak-hak mereka.
2. Penyediaan perangkat hukum dan penegakannya yang terkait dengan perlindungan anak.
3. Revitalisasi lembaga yang terkait dengan permasalahan anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
4. Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat maupun lembaga dalam upaya perlindungan anak.
5. Meningkatkan kerjasama antara lembaga pelaksana perlindungan anak baik lokal, nasional, regional, maupun internasional.
6. Mengembangkan sistem informasi yang menyediakan data dan informasi tentang perlindungan anak.
7. Memperkuat kualitas dan jangkauan pelayanan dan rehabilitasi perlindungan anak yang menekankan pada upaya preventif, berorientasi pada keluarga, berbasiskan masyarakat, integratif, komprehensif, dan akuntabel
8. Mengembangkan jaringan kerja antara semua pihak yang terkait dengan perlindungan anak.
9. Meningkatkan responsivitas semua pihak terkait, baik pemerintah maupun masyarakat dalam upaya pencegahan pelanggaran hak anak dan perlindungan bagi anak - anak yang membutuhkan perlindungan khusus.

Daftar Pustaka

- Anwar, Jefri dan Irwanto. 1998. Analisis Situasi Anak Jalanan Indonesia. dalam Irwanto dkk. Analisis Situasi Anak-anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus. PKPM-Depsos, UNICEF. Jakarta. -Info Jalanan, edisi khusus, September 1997 -Kanwil Depsos Jateng. (1999). Laporan Pemetaan dan Survey Anak Jalanan di Kodya Semarang, PKPM Atmajaya-Departemen Sosial. Jakarta. -PAJS. 1997. Pernyataan anti Kekerasan terhadap Anak Jalanan. dalam Peringatan Hari Anak 1997. Semarang. -Permadi, Gunawan & Nila Ardhianie (Ed.). 1997. Anak Jalanan: Di Pengasingan harapan. Yayasan Duta Awam. Semarang. -Masa Depan Anak yang Terkoyak (Catatan kasus kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap Anak Jalanan Perempuan). 2000. Aliansi Anti Kekerasan dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak. Semarang. -Shalahuddin (peny.). 1999. Anak Jalanan Perempuan. Laporan penelitian Yayasan Setara yang dipresentasikan dalam seminar Anak Jalanan Perempuan dan Anak yang Dilacurkan, Semarang, 14 Agustus 1999. Yayasan Setara-LPA-UNICEF. Jakarta. -Shalahuddin (Ed.). 2000. Rekaman Dialog Yayasan Setara Yayasan dengan Pemda, Poltabes, dan DPRD kotamadya Semarang. Yayasan Setara. Semarang. -Sunarti, Dr, Ir, Dwi MSc. 1998. Laporan penelitian: Profil Anak Jalanan Di Kotamadya Semarang. Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian Undip Semarang. Media Massa -Kompas; Radar Semarang; Tabloid Manunggal; dan Wawasan.
[1] Undang – undang nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak

[2] Pasal 80 undang – undang Republik Indonesia no. 23 tahun 2002

[3] Data Departemen Sosial Republik Indonesia Tahun 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar